Surat dari Langit

Rahma Yulia Putri
Chapter #15

Kita Hanya Langit dan Mentari

“Kenapa bilang gitu?” Langit bertanya, bahkan dari nada suaranya aku sangat tahu bahwa ia sedang tidak bersahabat, belum pernah sebelumnya mendengar Langit seperti itu.

Apa pernyataan yang menurutku sedikit sepele itu begitu berpengaruh baginya?

“Hmm ... aku cuma nggak percaya aja sampe sekarang.”

“Nggak percaya gimana? Apa yang nggak kamu percayain sampai sekarang, Pacar?”

“Semuanya, semuanya tentang kita.”

Rasanya kepalang tanggung jika aku masih menyangkal dan mengatakan tidak ada apa-apa pada Langit, lagi pula aku butuh jawaban atas semuanya.

 Agar bisa berhenti sebelum aku menggali lubang terlalu dalam, sebelum aku benar-benar jatuh dan terbuai oleh pesona seorang Angkasa Langit.

Langit menoleh ke belakang, “Semuanya? Tapi kenapa?”

Aku turun dari sepeda, berdiri di sebelah Langit, merasa kasian dengan leher cowok itu yang selalu ia putar ke depan dan ke belakang.

“Kamu pikir aja, tiba-tiba ada seorang cowok yang jika dikatakan cukup terkenal di sekolah, banyak cewek yang ingin dekat dengannya, lalu ia mendekatiku yang bukan apa-apa, yang bahkan seperempat dari isi sekolah tidak mengenalku. Apa itu masuk akal? Apalagi cowok itu sampai mengejar-ngejarku, berkelahi dengan temanku, dan melakukan hal bodoh lainnya.”

“Tapi buktinya itu memang benar terjadi kan, Mentari? Apa yang perlu kamu ragukan?”

“Aku sering membaca cerita yang seperti ini, yang cewek dijadikan taruhan dan ketika si cewek sudah jatuh hati, cowok itu akan meninggalkannya karena sudah berhasil mendapatkan tujuannya.”

Langit menatapku, sangat dalam dan teduh, tatapannya selalu berhasil membuatku nyaman. Kemudian, ia menggapai tanganku, menggenggam kedua tanganku dan mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. Jangan biarkan aku semakin nyaman dengan perasaan ini, perasaan seperti kupu-kupu berterbangan di perutku, dan ada pesta di jantungku.

“Nggak akan ada yang seperti itu, Mentari. Kamu percaya itu ‘kan?”

Aku bimbang, “Aku, aku percaya, tapi ... di satu sisi aku masih menemukan keraguan.”

“Mentari, please. Aku mohon jangan buat ini menjadi rumit, aku mencintaimu tanpa embel-embel taruhan, dan yang perlu kamu tau tidak ada cowok terkenal dan cewek biasa saja untuk kita. Kita hanya Langit dan Mentari.”

Jika aku bisa menjabarkannya, tatapan Langit, tatapan Langit membuatku tidak bisa berkutik, aku dapat melihat tatapan tulus dari matanya dan tentu saja aku tidak pernah menemukan kebohongan di sana.

“Langit dan Mentari, dan yang perlu kamu tau, Langit akan selalu mendapatkan mentari-nya dan mentari akan selalu tahu bagaimana cara kembali pada langit-nya.”

Aku tersenyum, membalas genggaman tangan Langit yang masih tidak lepas dari tanganku.

Tapi, kenapa suasana jogging pagi kita menjadi super melankolis seperti ini? 

“Lanjut ke taman, Pacar?”

“Eh, iyaa ... astaga, Langit. Yang tadi itu benar-benar romantis, dan aku malu mengingatnya sekarang.”

Lihat selengkapnya