Langit masih sama seperti yang sudah-sudah, selalu berlebihan, bagaimana tidak jika dia malah menggendongku di punggungnya.
Bayangkan saja bagaimana pandangan orang-orang melihat kami berdua, sangat tajam dan menusuk, seakan kami baru saja mencuri mahkota kerajaan.
“Langit, aku nggak kenapa-napa loh, cuma lecet dikit doang,” ucapku, berharap Langit menurunkanku dari gendongannya.
“Tapi kan lukanya blom diobati, nanti tambah sakit, Pacar.”
Aku mendengus, “Dih, bilang aja mau modus.”
“Ya, itu salah satunya.”
Tidak disangka Langit membalas seperti itu, padahal aku berniat bercanda padanya.
“Ih, turunin aku sekarang, Langit. Mana modusnya ngaku lagi.”
“Nggak lah, nanggung, itu udah depan pintu.”
Aku akhirnya menyerah, membiarkan Langit melakukan apa yang ia ingin lakukan, menggendongku di punggungnya sampai apartemen.
Kemudian, cowok itu mendudukkanku di sofa, ia mengambil kotak P3K dan menaruhnya di atas meja.
Membuka kotak itu, seketika aku menjadi teringat ketika pertama kali ke sini, ternyata sekarang gantian Langit yang mengobati lukaku.
“Auh, perih loh, pelan-pelan dong.”
“Iya, ini pelan-pelan kok, tahan dikit.”
Langit dengan telaten membersihkan dan mengobati lukaku, aku pernah mengatakan sebelumnya bukan kalau Langit yang serius itu semakin tampan.
Sepertinya, aku semakin jatuh pada pesona seorang Angkasa Langit.
Usai mengobati luka yang sepertinya bukan apa-apa itu, Langit katanya ingin mandi, ia pagi-pagi ke rumahku ternyata belum mandi.
Langit yang belum mandi saja begitu tampan, ah sudahlah.
Aku mengelilingi apartemennya, tidak mengerti juga sebenarnya mengapa cowok itu bisa punya apartemen sendiri dan senyaman ini, maksudku kami bahkan masih kelas sebelas SMA.
Apartemen Langit memang nyaman, dengan dinding berwarna biru langit, rasanya sejuk saja dimataku.
Di dindingnya, juga ada beberapa puisi yang ia bingkai, sepertinya puisi istimewa yang sengaja ia bingkai. Juga ada sertifikat dan beberapa medali, aku bahkan tak memiliki hal itu satupun.
“Pacar, aku lapar.”
Aku memutar badan ke belakang dan Langit sudah berdiri di sana, baru saja selesai mandi, dan rambutnya masih setengah basah.
Semakin ganteng saja.
“Aku juga lapar, ada makanan nggak?” tanyaku.
Langit menggeleng, “Pesan makanan aja atau kita yang pergi makan?”
Aku berpikir sejenak dan sepertinya ada pilihan yang lebih baik dari hal itu, “Di dapur ada apa?”
“Hah?” Langit bertanya cengo.