Setelah perdebatan singkat, aku benar-benar memutuskan untuk memasak makanan di dapur, dengan bahan seadanya, setidaknya cukup untuk membuat dua porsi nasi goreng.
“Waah, berasa dimasakin istri,” celoteh Langit.
Aku mendelik, tapi tak urung mengucapkan, “Aamiin.”
Langit tentu saja langsung menoleh, ia memandangku untuk beberapa saat, kemudian tersenyum senang, “Aamiin, aamiin, aamiin.”
Sampai tiga kali loh, Langit benar-benar tak terduga.
“Tunggu aku sukses, Pacar. Trus baru kita bisa nikah, bikin rumah sendiri, punya anak, punya cucu, bahagia.”
Aku hanya mengangguk, mencoba acuh, tapi sebenarnya detak jantungku sudah tidak aman, kenapa juga aku malah kelakukan hal bodoh itu?
Jika Langit tidak mengolok-oloknya nanti, aku akan sangat bersyukur.
Aku menghidangkan dua porsi nasi goreng kami ke meja makan, duduk di depan Langit.
Langit mulai memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya, sementara aku harap-harap cemas, menanti bagaimana respon dari cowok di depanku ini.
“Enak?” tanyaku begitu Langit selesai mengunyah, sebenarnya aku tidak terlalu bisa memasak, hanya beberapa kali membantu Mama di dapur, itupun ketika Mama mengamuk karena aku hanya mendekam di kamar.
“Enak banget, rasanya beda dari yang dijual abang-abang pinggir jalan, yang ini ada rasa cintanya.”
“Ngegombal aja terus sampe keselek buaya.”
“Bener loh, Pacar, aku nggak ngegombal.” Langit memberi pembelaan, aku hanya mengacuhkannya dan memulai suapan pertamaku.
Rasanya biasa saja, tidak ada yang spesial, memang Langit saja yang berlebihan, bahkan aku mengakui, masih enakan nasi goreng buatan abang-abang pinggir jalan.
“Biasa aja rasanya.”
“Itu yang nggak kamu tau, Pacar, kamu nggak bakal nemuin deh rasanya kayak aku, aku nganggap nasi goreng ini spesial karena kamu yang masak, jadi walau gimanapun rasanya bakal tetap lebih enak dari masakan manapun?”
“Termasuk masakan Mama kamu?” tanyaku menantangnya.
Tapi, Langit hanya diam, tangannya menggantung di udara, memegang sendok yang berisi nasi goreng.
“Malah bengong lagi,” ucapku kemudian, sebenarnya bingung juga dengan tingkah laku Langit yang tiba-tiba itu.
“Nggak bisa ngelak lagi kan kamu, ya iyalah masakan Mamamu yang lebih enak, Langit.”
“Nggak, masakanmu lebih enak.”
Langit berkata seperti itu dengan penuh penekanan, seolah mengisyaratkan bahwa perkataannya sudah final dan tidak bisa lagi diganggu gugat.
Sepertinya ada yang aneh di sini.
“Emm ... oke deh kalo gitu.”
Cukup lama kami diam, karena aku tidak menemukan topik pembicaraan lagi, dan Langit yang biasanya selalu berceloteh memilih diam.
Sampai nasi goreng di piring kami masing-masing pun habis tak bersisa, atmosfer di antara kami masih belum juga menghangat, dengan kikkuk aku memutuskan membawa piring kotor itu ke dapur dan mencucinya.
Sengaja mencuci piring dalam waktu yang lama, aku akhirnya terpaksa kembali juga pada Langit, sekarang cowok itu sedang bermain game di hp-nya.