Aku terpaksa mengikuti Langit, sangat terpaksa, doakan saja setelah keluar dari ruangan bioskop ini, aku dapat tertidur dengan nyenyak.
Jika saja aku tidak bisa tidur nanti, aku berjanji, akan mengganggu Langit agar ia juga tidak bisa tidur.
“Langit, pulang aja deh, aku nggak mau nonton.”
“Mana bisa, Pacar. Masa iya tiketnya kebuang percuma gitu aja,” balas Langit yang membuatku mendelik.
Aku ingin pulang saja.
Tolong bantu aku mendapatkan uang, setidaknya untuk membayar taxi.
Ternyata benar, tidak ada uang sama sekali itu sangat menyebalkan, lebih menyebalkan dari Langit sepertinya, dan sekarang aku terjebak bersama Langit dalam keadaan tidak ada uang sama sekali.
Bayangkan saja.
Langit menggenggam tanganku, ia membawaku memasuki ruangan dan memilih tempat paling strategis.
Aku memilih menyibukkan diri dengan handphone milikku, walau sebenarnya tidak ada yang bisa kulakukan dengan benda pipih persegi panjang itu.
“Udah mau mulai, Pacar.” Langit berkata dengan antusias.
Aku memutar bola mata, dasar tidak peka.
Apa dia tidak melihat aku sudah mulai ketakutan?
Apa aku harus pingsan dulu di sini agar Langit sadar tentang seberapa besar ketakutanku pada film horor yang akan diputar ini.
“Aku ngga peduli, Langit.”
Film mulai diputar, mendengar suaranya saja aku sudah takut, kaget.
Kenapa film horror suaranya selalu mengagetkan?
“Pacar, liat deh,” ucap Langit kembali merecokiku, sepertinya sudah tiga puluh menit setelah film diputar.
“Nggak mau, kamu nonton aja sendiri.”
“Liat dulu, nggak ada yang serem kok.”
“Itu menurut kamu, menurutku itu menyeramkan, Langit,” balasku lagi.
“Liat dulu deh, kalo kamu berani liat bentar aja, aku beliin es krim ntar.”
Es krim?
Sepertinya menggiurkan.
jIka melirik sebentar, aku tidak akan langsung melihat hantu-hantu itu kan?
Iya, setidaknya dalam sekali lirikan, aku tidak akan melihat hal yang menyeramkan dan juga akan mendapatkan sebuah es krim, es krim rasa vanila.
“Beneran?” tanyaku memastikan, jangan lupakan jika Langit adalah cowok yang menyebalkan.
“Iya, Pacar, kapan coba aku bohong.”
“Ya mana aku tahu kamu kapan bohong, bisa aja tiap hari.”
“Enggak lah, aku itu salah satu spesies terjujur loh.”
“Ya iya lah, kamu kan satu spesies sama buaya.”
“Iya, kamu daging, biar aku bisa makan. Ini kamu ga mau es krim, Pacar?”
“Mau lah.”
“Ya udah, coba liat, bentar doang loh.”
“Hmm ... aman kan, Langit?”
“Aman terkendali, Pacar.”
Tanpa berpikir panjang, yang seharusnya aku harus memikirkan matang-matang tentang hal ini, aku mendongakkan kepalaku yang sedari tadi menunduk.
Dan ternyata benar, kalau bersama Langit, apapun keputusan yang kuambil, akan selalu salah dan keliru.
“AAA! LANGIT!”
Dari teriakan saja, sepertinya sudah tertebak.
Tepat saat mataku menatap pada layar lebar itu, sosok menyeramkan langsung bertatapan dengan mataku.
Benar-benar menyeramkan, rambut panjang, kulit pucat, wajah yang benar-bebar tidak terbentuk, apalagi diiringi dengan suara menggelegar yang mengagetkanku.
Setelahnya, aku dapat merasakan pandangan menusuk dari pengunjung yang lain.