Setelah persoalan ala perempuan yang sangat merempongkan, akhirnya mau tidak mau Langit mengantarku pulang.
Sejujurnya aku juga masih tidak rela sih, tapi mau bagaimana lagi, dari pada aku mengamuk seharian pada cowok itu karena perasaan tidak nyaman.
“Masuk dulu, Langit?”
Sepertinya ini kali pertama aku menawarinya masuk rumah, biasanya Mama yang heboh mengajak Langit masuk.
“Emang, kalo aku masuk, bakal ditemenin, Pacar?”
Aku menggeleng, “Ya nggak sih, aku mau tidur aja sampai sore,” balasku.
“Yaah, kirain.”
“Tapi kamu bisa ngobrol sama Papa aja, palingan Papa lagi baca koran kalo ga nonton kartun bocah botak-botak itu, sesekali kamu ajak Papa ngelakuin sesuatu deh, kalo akhir pekan benar-benar unfaedah tau nggak kerjaannya di rumah.”
Langit terkekeh, “Ya baguslah dari pada ribut sambil banting-banting piring,” ucapnya, aku tidak mendengar nada bercanda dari kalimatnya.
Maksudnya apa?
Kenapa jika membahas orang tua, Langit seolah memberi makna tersirat seperti itu?
“Ya nggak banting-banting piring juga lah, emang ngapain coba?”
“Ya makanya baguslah Papa kamu cuma baca koran sama nonton kartun, Pacar.”
“Iya deh,” balasku mengakhiri, sedikit tidak nyaman dengan topik pembicaraan kita, “Jadi gimana? Mau masuk apa nggak nih?”
“Nggak usah deh, Pacar, aku pulang aja deh.”
Aku mengangguk, menunggu Langit memutar motornya, dan kemudian melambaikan tangan begitu ia mulai melaju menjauh.
“Eh, udah pulang aja?” Papa menyambut kedatanganku dari ruang televisi.
Benar bukan, kartun dua bocah botak sedang ditayangkan di sana.
“Iya,” balasku pendek.
“Kirain bakal pulang sore atau malam, ternyata cuma sampai siang toh.”
“Ya gitu deh, Pa,” balasku lagi.
Papa hanya mengangguk, kemudian kembali larut dalam serial kartunnya, tanpa pikir panjang pun aku juga langsung masuk ke dalam kamar.
Tidur sampai sore.