Surat dari Langit

Rahma Yulia Putri
Chapter #21

Surat di Kolong Meja

Bu Desi memasuki kelas, bunyi kelontang dari sepatunya terdengar nyaring bahkan sebelum ia melangkah di depan pintu, apa semua sepatu guru selalu punya aura menginterupsi seperti itu?

Jika membicarakan Bu Desi, aku jadi teringat dengan pengalaman pertama ketika aku menerima surat dari Langit, tidak menyangka sudah cukup lama semenjak hari itu.

Mulai dari Langit yang selalu mengejarku, aku menolak kehadirannya, ia bertengkar dengan Radit di kantin yang menyebabkan tanganku tidak bisa digunakan selama seminggu penuh, acara nge-date kita yang berakhir berantakan, dan ia yang sekarang menghilang tanpa kabar tapi masih sok meyakinkan bahwa sedang baik-baik saja.

“Sampahnya ya, tolong,” kalimat pembuka pelajaran yang membosankan.

Aku menengok pada laci dengan malas, “Simpihnyi yi, tiling.”

Hampir saja tertawa dengan ejekan Lea barusan, tapi dari pada tertawa, aku lebih tertarik pada surat yang tergeletak di bawah kolong meja.

Benar, surat.

Surat berwarna putih dengan aksen biru dan kuning di setiap sisinya.

Tanpa sadar, dadaku menghangat, siapa lagi yang akan mengirimiku surat seperti itu selain Langit?

Sudah pasti Langit.

Aku berusaha tenang, tidak menunjukkan bahagiaku karena takut-takut Banu kembali mengacaukannya seperti saat pertama kali aku menemukan surat di kolong meja.

Aku mengambil amplop surat itu cepat, melipatnya, memasukkan ke dalam saku rok, dan izin ke toilet pada Bu Desi.

“Baru juga pagi, Alyana.”

“Mau gimana lagi, Bu. Saya kebelet.”

“Ya udah, sana cepat!”

Aku tersenyum, mengangguk, dan berlari keluar kelas.

Di depan wastafel, aku membuka amplop itu, dengan perasaan yang menggebu, kamar mandi sepi, karena jarang sekali guru mengizinkan muridnya izin keluar kelas di pelajaran pertama.

Bau khas Langit menyeruak dalam indra penciumanku, seingatku, dulu pada surat pertama aku tidak mengingat ada bau seperti ini.

Tulisan rapi milik Langit yang sudah hapal diluar kepalaku, karena selain suka membuatkanku puisi, hasil ulangan kimia bernilai sembilan puluh yang dibantu Langit dulu, masih sering kupandangi karna kupajang di depan meja belajar.

Pada lipatan surat berwarna kulit itu, aku menemukan kalimat ‘untuk Mentari’

Perlahan kubuka lembaran itu,

Haii Mentari.

Ini bukan puisi, aku tahu jika hari ini puisi yang kukirimi padamu, kamu akan marah padaku karena sangat tidak romantis membaca puisi saat kamu sedang cemas dan bertanya-tanya tentang keberadaanku.

Aku tahu kamu sedang membaca surat ini dengan sembunyi-sembunyi karena tidak ingin suratku dibaca oleh anak kelasmu.

Aku juga sengaja mengirimkan surat ini di kolong mejamu pada hari ini, karena Bu Desi mengajar hari ini. Kamu sering-sering memeriksa kolong mejamu ya, Mentari.

Lihat selengkapnya