Cukup lama saling terdiam, aku berdehem singkat, “Tadi Mama nyuruh bawa makanan, kamu mandi dulu, aku panasin dulu makanannya supaya kita bisa makan malam.”
Langit masih memandangku, ini menggelikan, tapi aku tahu kita saling merindukan, mungkin jika aku tidak mengatakan kalimat itu barusan, Langit bisa saja langsung memelukku.
Cowok itu terlihat kikkuk, ia seperti ingin mengatakan sesuatu, sampai akhirnya kata yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Baiklah.”
Ia masuk ke dalam kamar dan aku melangkah ke arah dapur, memanaskan makanan seperti yang aku katakan pada Langit.
Hei! Kecanggungan apa ini?
Lima hari tidak bertemu tidak mungkin bukan bisa membuat kita menjadi asing seperti ini?
Ketika menata makanan, Langit datang, pandangan kami bertemu untuk beberapa saat.
“Mentari,” panggilnya, aku rindu panggilan itu.
“Ya?”
“Hmm ... itu-
“Kita makan dulu ya, Langit. Nanti ceritanya.”
Langit terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk, kami mengambil tempat duduk masing-masing, saling berhadapan, tapi suasananya tidak sehangat biasanya.
Ditemani opor ayam buatan Mama, jika seperti ini aku lebih suka makan nasi goreng buatanku yang tidak ada apa-apanya, tapi setidaknya kecanggungan ini tidak ada.
Aku baru tahu, rasanya makan malam dalam diam ternyata semengerikan ini, biasanya dengan Mama dan Papa, selalu punya topik yang menemani kami makan malam.
Entah pekerjaan Papa yang menumpuk, gosip dari Mama ketika beliau membeli sayur tadi pagi, atau hasil ulangan fisika ku yang dibawah rata-rata.
Menghabiskan makanan dengan cepat, aku membawa piring ke dapur, diikuti Langit setelahnya, cowok itu juga membereskan sisa makan kami di meja makan, sementara aku mencuci peralatan makan.
“Aku lebih suka kamu marah dari pada kayak gini, Mentari.”
Langit membuka suara sambil meletakkan piring pada raknya.
“Nanti aku marah, selesaiin dulu kerjaannya.”
Langit mengangguk patuh.
Mungkin karena tidak sanggup lagi dengan keadaan canggung ini, Langit menarikku ke ruang tamu, ia menatapku lama, setelah akhirnya mengatakan, “Maaf, Mentari.”
Aku memandanginya, “Cuma maaf?”
“Kamu nggak tau gimana cemasnya aku ketika Ido kecoplosan bilang kalau kamu ada masalah?”
“Kamu nggak tau kan gimana rasanya senang begitu mendapat surat di kolong meja, aku berharap di sana kamu menjelaskan apapun atau menceritakan masalahmu, Langit. Tapi di sana aku hanya menemukan omong kosong, kamu nggak baik-baik aja, Langit!” tegasku.
“Semua suratku bukan omong kosong, Mentari.”