Cukup lama hingga Langit menyelesaikan tangisannya, ia mengusap air matanya kasar, aku masih diam, hanya memandanginya.
Setelah hal yang aku saksikan darinya, aku tidak ingin menuntut cerita apapun dari Langit, keadaannya yang seperti ini sudah cukup membuatku mengerti tentang beban besar yang ia tanggung.
Terlebih, setelah Mama tadi pagi juga berpesan untuk tidak terlalu menyusahkan Langit.
“Keluargaku ngga baik-baik aja, Mentari,” ucapnya memulai cerita.
Mulai dari melihat keadaan ibunya yang penuh luka lebam, dan Langit yang sering berbicara seolah ada sesuatu dengan keluarganya, aku sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk hal ini.
“Ini alasanku nggak betah di rumah, sampai mutusin buat pindah ke apartemen.”
Langit diam sejenak, hingga kemudian ia kembali bersuara, “Aku udah pernah bilang kalau rumah begitu berisik. Ayah dan Ibu selalu ribut, tiap hari, entah dengan penyebab apapun, udah tiga tahun.”
“Awalnya keluarga kita baik-baik aja, harmonis seperti Papa dan Mamamu, Mentari. Sampai tiga tahun yang lalu, di kantor Ayah perlahan ada masalah, beberapa pemilik saham, melakukan disvestasi.”
“Kantor terlilit hutang, saat itu Ayah dalam keadaan terpuruk dan melampiaskannya dengan alkohol, Ibu nggak suka itu, maksa Ayah berhenti, tapi akhirnya mereka ribut.”
“Itu pertama kali mereka ribut, hari itu aku takut buat berada di rumah, berusaha pulang malam biar nggak denger mereka ribut, tapi hal besar apa yang bisa dilakuin anak SMP kelas sembilan?”
“Meski perusahaan Ayah perlahan membaik, tapi kebiasaan minumnya makin parah, Ibu berkali-kali minta pisah karena udah nggak tahan, tapi Ayah nggak mau.”
“Tiga tahun, dan aku nggak pernah terbiasa sama hal itu, sampai kelas sepuluh, circle pertemananku udah mulai berkembang dan akhirnya kenal dunia luar. Aku berani ngelawan Ayah, tapi Ayah tambah marah, makanya aku pergi dari rumah.”
Aku menghela napas, “Nggak ada yang bakal terbiasa sama hal itu, Langit.”
Langit hanya mengangguk, matanya kembali berkaca-kaca, “Hari Minggu kemarin, pulang dari nganterin kamu, tiba-tiba aku pengen pulang. Ternyata benar, mereka lagi ribut, dan kurasa kali ini lebih dari sebelumnya. Biasanya cuma sampai lempar-lempar perabotan rumah dan adu mulut, tapi hari itu, Ayah mukul Ibu.”
Langit terdiam, ia berkali-kali menghela napas, tautan kedua tangannya mengencang sampai buku-buku tangannya terlihat.
Aku meraih tangannya itu, menggenggamnya, berharap semoga hal kecil ini menguatkannya.
“Aku nggak tau harus gimana, Mentari, aku takut. Aku terlalu pengecut buat hentiin mereka, tanpa ngelakuin apapun, tanpa menolong Ibu yang lagi dipukulin Ayah, aku langsung pergi. Di dalam benakku cuma aku harus pergi dari sini, sejauh mungkin.”
“Aku sadar itu hal paling pengecut yang aku lakuin, aku nemuin Ido, karna cuma dia yang tahu tentang ceritaku. Ido bilang ‘Bodoh lo! Lapor polisi lah! Ayah lo ngelakuin KDRT dan lo tinggalin Ibu lo gitu aja?’ dari sana aku tau kalo yang dikatain Ido benar.”
Langit kembali menghela napasnya, aku tahu ia kesulitan untuk bercerita, tapi bagi orang yang sedang berada di posisi seperti Langit, hanya dengan membagi masalahnya lah ia bisa merasa baik-baik saja.
“Kemudian Ido bawa aku ke kantor polisi buat laporin Ayah, Ayah di bawa ke penjara, dan Ibu di larikan ke rumah sakit.”
Aku hanya diam, mendengar setiap kalimat dari Langit, jika ditanya, aku tidak tahu ingin mengatakan apa.
“Aku nggak mau berbagi cerita sama kamu, karena jujur, aku takut kamu menghindariku karna ini.”
“Kenapa kamu mikir aku bakal ngelakuin hal itu?” tanyaku.