“Ibu tau nggak? Langit itu nyebelin amat, Bu. Masa waktu nge-date aja dia ngajak aku nonton horror, nggak, bukan ngajak, dia maksa aku, Bu,” ceritaku, Ibu Langit dari tadi hanya mendengar ceritaku.
Kata Langit, Ibunya masih mengalami sedikit trauma pasca kejadian itu.
Jelas saja trauma, wanita mana yang kuat diperlakukan tidak baik seperti itu.
Semoga aku dijauhkan dari laki-laki seperti ayah Langit.
“Nggak gitu loh, Bu. Yakali aku mau ikut nonton film romance.”
“Emang apa salahnya sama film romance, kamu aja yang kuno.”
“Dih, nggak ya, Pacar.”
Aku mendelik, “Tuh kan, Bu. Langit itu ngeselin.”
Ibu Langit hanya tersenyum mendengar perdebatan kami, ia tidak banyak bicara hanya sesekali mengangguk dan menggeleng sebagai respon.
“Oh iya, besok kamu masuk skolah kan?”
Langit terlihat berfikir sejenak, “Hmm ... nggak deh kayaknya.”
“Kenapa? Udah brapa hari coba kamu nggak masuk?mana absen lagi, besok aku buatin surat izin aja deh.”
“Iya, besok aku mau pindahan.”
Aku menyerngit, “Pindah?”
“Iya, pindah ke rumah aja, lagian Ayah udah nggak di rumah, aku bisa sewain apartemen itu.”
“Oh, kalo gitu aku ikut deh.”
Langit menaikkan sebelah alisnya, “Ikut apa? Pindah rumah? Kalo gitu mah kita harus nikah dulu, Mentari.”
Aku berdecak malas, memukul pelan lengannya, “Ikut bantuin kamu pindahan lah.”
“Absen dong?”
“Ya nggak lah, surat izin yang kamu kirim masih ada jatah satu hari lagi, harus dimanfaatin dengan baik.”
Langit tertawa, “Bisa aja, surat izinku nggak jadi?”
“Nggak, siapa suruh kamu absen.”
“Oh iya, Bu. Kata dokter tadi, ibu besok juga udah boleh pulang loh,” ucapku pada Ibu Langit.
Wanita itu mengangguk sambil tersenyum, “Iya, makasi, Nak,” ucapnya.
Aku dan Langit saling berpandangan, senyum terpatri di wajah kami.
✉📜
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap kembali ke apartemen Langit, membantunya pindahan, tidak lupa memasakkan sarapan untuknya karena aku yakin, makanan di apartemen pasti kosong.
Kemarin Langit juga sudah mengantarkanku pulang, berkali-kali meminta maaf pada Mama dan Papa karena sudah merepotkanku.
Mama hanya memaklumi, malah katanya aku terlalu cepat dipulangkan, Mama tidak ingin melihatku di rumah karna menurutnya tidak berguna sama sekali.
Mama memang ibu yang berbeda, tapi aku seperti anak-anak kebanyakan, enggan menolong orang tua dan menghabiskan hari dengan rebahan.
Tapi, ayolah, kenapa Mama harus mengeluhkan hal itu pada Langit?
Langit jadi punya bahan lain untuk mengejekku.
Memasukkan nasi goreng pada kotak bekal berwarna biru muda, dan memindahkan yang lainnya pada mangkok nasi berukuran besar, untuk sarapan Mama dan Papa.
Pagi-pagi orang tuaku itu sudah menghilang, padahal sekarang hari Sabtu dan Papa tidak pergi bekerja.
Hanya satu kemungkinan, Mama pergi senam bersama teman-teman PKK-nya, dan Papa bersepeda di lokasi yang dekat dengan Mama, tidak bisa jauh dengan istri sama sekali.
Tanpa memperlama, aku memasukkan kotak bekal itu pada totebag, kembali ke kamar mengganti pakaian.
Memakai sepatu converse, memesan ojek online, dan pergi ke apartemen Langit.
Menurutku sebenarnya masih terlalu pagi, tapi nasi gorengku tidak bisa menunggu, nanti dingin.
Lagian aku malas sendirian di rumah.
Sampai di depan pintu apartemen, aku langsung masuk, karena kunci cadangan masih bersamaku.
Apartemen sepi, aku mengecek di kamarnya, dan Langit masih tertidur pulas.
“Dasar pemalas, aku udah sampai loh di sini, kamu masih aja tidur,” ucapku, tapi tidak mengusik Langit sama sekali.