Surat dari Langit

Rahma Yulia Putri
Chapter #27

Korban Pem-bully-an

Aku turun dari taxi, Langit yang pergi dengan motor membantuku mengangkat beberapa dus, ia juga menurunkan kopernya dari bagasi, kita tentu saja tidak bisa membawa barang-barang ini dengan motor.

Langit mengangkat kardus itu, sementara aku menyeret kopernya, baru pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, sebuah rumah, sedikit lebih besar dari rumahku, catnya berwarna cream.

Langit menurunkan kardusnya, membuka pintu yang terkunci.

“Ayo, Pacar,” ajaknya membawaku masuk.

Aku langsung masuk, rumah sangat sepi karena tidak ada siapapun di sini selain kita berdua.

Aku menyusuri rumah lebih dalam, kemudian meringis menyaksikan bagaimana berantakannya ruangan ini.

Beberapa pajangan keramik berserakan dan pecah di lantai, meja dan kursi terletak tidak pada tempatnya. Sepertinya belum dibereskan.

“Maaf, Pacar, berantakan,” ucapnya, mengangkat kardus-kardus ke lantai atas.

“Ya nggapapa sih, kita bisa beresin,” ucapku, mengekori Langit dengan membawa kopernya.

Langit memasuki sebuah kamar, setelah sebelumnya ia membuka kunci pintu tersebut, ini pasti kamar Langit.

Ruangan yang lebih rapi dari pada yang kulihat di lantai bawah tadi, kupikir ruangan ini akan berwarna cream seperti ruangan-ruangan yang lain, tapi aku salah, berwarna biru langit, Langit sepertinya sangat suka pada namanya.

Aku menyusuri ruangan itu, tertata rapi dan pada satu pojok, ada sedikit sisi dinding yang dicat berwarna jingga, dibuat berbeda dengan bagian lainnya.

Aku menuju sisi tersebut, terdapat meja, buku-buku dan album foto, juga bunga matahari yang sudah layu.

Langit menghampiriku, “Aku lupa bawa bunganya ke apartemen, kayaknya Ibu udah nggak nyiramin bunga ini lagi,” terang Langit, menatap kasihan pada bunga.

“Coba kita siram dulu aja, tarok di tempat yang terkena matahari, siapa tau bisa baik lagi, bunganya masih layu, Langit, belum mati.”

Langit mengangguk, namun aku benar-benar penasaran dengan tempat yang sedikit diistimewakan ini.

“Kenapa warna cat bagian sini berbeda?”

“Ini bagian khusus Mentari,” ucapnya.

“Maksudnya?” tanyaku heran.

Bagian khususku? 

“Waktu aku ngubah cat kamarku jadi warna biru, aku nyisain sedikit sisi untuk warna jingga, warna mentari.”

“Baru dicat?”

“Nggak, kalau nggak salah inget waktu kelas sembilan.”

Aku semakin heran dengan hal ini, apa ini ada hubungannya lagi dengan empat tahun lalu yang dikatakan Langit padaku?

Sebenarnya ada apa dengan hal itu?

“Kamu bisa cerita sekarang nggak sih? Kalau nggak, nggak usah ungkit-ungkit deh, Langit.”

Langit tergelak kecil, ia mengacak-acak rambutku.

“Mau cerita sekarang? Yakin? Tapi kalau kamu mewek aku nggak tanggung jawab, Pacar.”

“Yakali mewek, seistimewa apasi ceritanya?” tanyaku heran.

Duduk dibangku yang Langit beri nama dengan istana Mentari, membuka-buka sebuah album.

Aku kaget sebenarnya begitu mendapati yang ada di album itu adalah foto-totoku, foto yang aku bahkan tidak tahu kapan diambil.

Ada foto ketika aku upacara bendera yang berdiri di barisan terdepan, aku yang berlari keliling lapangan upacara karena dihukum Pak Ari, ada aku yang makan di kantin, banyak lagi diriku di album itu, yang pasti hanya wajahku yang ada di sana.

“Kamu nguntit ya?” tanyaku ngeri.

Langit hanya mengangkat kedua bahunya, “Nggak nguntit juga sih, cuma iseng aja fotoin kamu,” balasnya santai.

“Ih ngeri Langit, tau-tau ada orang yang diam-diam ngefotoin aku trus nyimpan di album, aku malah takut kamu terobsesi bukannya suka.”

Langit gelagapan, “Nggak gitu loh, kan udah aku bilang, aku suka kamu itu udah empat tahun yang lalu, Mentari.”

Lihat selengkapnya