Jam pelajaran pertama dari Bu Desi semakin membosankan saja, apalagi dengan kalimat pembuka beliau.
“Ibu nggak akan mulai ngajar ya, sebelum kelas dan laci kalian steril dari sampah.”
Aku menghela napas mendengar kalimatnya itu, setiap mengajar, pasti ada nada pembuka seperti itu, jika tidak maka kami sangat yakin jika itu bukan Bu Desi.
“Eh, Alyana! Kenapa kamu menghela napas? Nggak suka ya sama cara saya?”
Aku tersentak, lupa lagi jika telinga guru satu itu juga sangat peka, tipe pengawas ujian yang paling dimusuhi.
“Nggak kok, Bu,” balasku pendek, tidak ingin memperpanjang.
Menantang maut saja rasanya jika aku mendebat seorang guru Bahasa Indonesia dan pembina ekstrakulikuler debat.
“Periksa laci kamu!” titahnya.
Dengan malas, aku memasukkan tangan ke laci meja, meraba-raba dengan yakin, karena aku tidak pernah memasukkan sepotong sampah pun di laciku, kecuali jika ada yang memasukkannya ke dalam sana, itu bukan kuasaku.
Terhenti dengan kegiatanku, aku melongok ke dalam laci, memastikan bahwa indra perabaku tidak salah, pasalnya aku merasakan tekstur seperti kertas.
Memandang dengan penarasan bagian dalam laci itu, kemudian aku mendapati sebuah amplop berwarna putih dengan hiasan garis-garis berwarna biru dan kuning di setiap sisinya.
Membolak-balik amplop itu dengan penarasan, tapi tak kudapati keterangan yang jelas dari sana.
“Surat apa tuh?”
Banu, salah satu teman sekelasku yang terkenal sedikit kepo, melongok di sampingku. Ikut memandangi surat itu dengan penasaran, mungkin sama penasarannya denganku, atau bahkan anak itu lebih penasaran dariku.
“Nggak tau, tiba-tiba ada di laci,” balasku acuh.
“Wih.”
Lea, teman sebangku-ku juga ikut memperhatikan, juga menatap surat itu dengan penasaran, tidak tahu asalnya dari mana, surat tersebut bahkan sudah menjadi pusat perhatian, untung saja tidak sedang istirahat, jika iya, maka kupastikan jika amplop itu akan menjadi sorotan teman sekelasku.
Banu langsung merebut surat itu dari tanganku, untungnya Bu Desi berada pada sisi yang berjauhan dengan kami, sibuk merecoki temanku yang lain pasal sampah dan kawanannya.
Cowok bertahilalat pada dahi sebelah kanan itu semakin memperhatikan amplop itu, meraba-rabanya, kemudian membauinya entah untuk apa.
“Rapi, bersih, warnanya menarik, wangi,” gumamnya masih memegang amplop itu.
Aku hanya memperhatikan setiap tingkah anehnya, selama tidak meresahkan apalagi menyusahkan.
“INI MAH SURAT CINTA!” teriaknya tiba-tiba, aku terlonjak kaget karena teriakannya yang cukup lantang, bahkan Lea nyaris terjengkang.
Satu kelas menatap kami bertiga, terlebih pada Banu yang memegang amplop itu, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.