Aku kembali ke kelas dengan Lea di sampingku, masih menanyakan perihal surat tersebut, sama penasarannya denganku.
“Udah pasti surat cinta deh, akhirnya lo dekat sama cowok juga.”
Ia tersenyum-senyum sendiri, bahagia pada hal yang tidak pasti.
Aku memutar bola mata bosan, “Please deh, Le, jangan kek Banu deh!”
“Ya elah, gue ‘kan cuma menyalurkan rasa senang, teman sebangku gue dapat surat cinta.”
Aku mendelik, “Pertama, lo kayak gitu tuh seolah bilang kalo gue melarat nggak ada pasangan, kedua, kita nggak tau pasti itu surat apa. Jadi, stop menghayal kek gitu.”
Lea mencebik kesal, menggembungkan pipi tembemnya, aku kemudian hanya mengacuhkan temanku itu, berjalan beriringan dengannya ke arah kelas.
Memasuki kelas, aku menyerngit mendapati beberapa teman sekelasku malah berkerumunan di mejaku.
Memangnya ada yang salah dengan mejaku?
Di sana tidak ada apa-apa.
Kecuali amplop di dalam tasku.
Amplop?
Aku melotot, menembus kerumunan itu dan mendapati Banu memegang sebuah kertas berwarna kulit, masih sedang membuka lipatannya.
Untung saja aku tidak terlambat.
Aku langsung merebut kertas itu, “Apa sih lo? Kan dibilang jangan dibuka!”
“Ya maaf, gue penarasan.”
Aku mendengus, memandang berkeliling pada kerumunan, mereka mengangguk serentak.
“Buka aja napa, Al. Kita ‘kan teman sekelas, nggak usah ada rahasia lagi deh,” Ucap Ega, sohibnya Banu.
“Iya tuh, penasaran kita,” Egi, kembarannya Ega ikut menimpali, kemudian mereka ber-tos ria sambil tersenyum.
Untung dua, kalau sendiri, sudah ku-bully mereka.
“Bacod deh kalian, sono sono, kepo!” aku mengibas-ngibas tangan, mengusir kerumunan itu.
“Yaah, gitu ya lo.” Karin memasang wajah lesu miliknya.
Aku memasang wajah tidak peduli dan perlahan kerumunan itu menyusut, kembali ke tempat mereka masing-masing, walau aku tahu jika rasa penasaran masih membengkak di hati.
Menyalurkan rasa penasaran, aku membuka lipatan kertas itu, membiarkan Lea yang sudah duduk di bangku ikut melongok dengan penasaran.
Begitu mengambangkan surat tersebut, aroma mint yang maskulin langsung menyerang penciumanku, pantas saja Banu mengatakan surat ini wangi.
Sebuah surat dengan tulisan paling rapi yang pernah kulihat, jika dibandingkan dengan tulisanku, sangat beda jauh, bahkan Metty, sekretaris kelas yang memiliki tulisan paling rapi di kelas, akan kalah dengan penulis surat ini.
Mentari,
Namanya indah.
Cukup untuk membuat langit tersipu.
Hingga sadar jika dirinya membutuhkan mentari guna menghangatkan.
Langit tahu, mentari sanggup meneranginya.
Matahari terbit disenyumnya dan rembulan tenggelam dimatanya.
Puisi ini bahkan tak sanggup menandinginya.
Karena, dirinya lebih indah dari puisi.
Senyumnya lebih menyejukkan daripada sajak yang ditulis.
Sepertinya, sang surya akan segera iri padanya.
Karena langit telah menemukan mentarinya.