Surat dari Langit

Rahma Yulia Putri
Chapter #3

Pulang Bareng?

“Al, gue duluan ya!” pamit Lea, menyampirkan tas punggung berwarna pink miliknya.

“Ya, tiati.”

“Al, gue juga duluan, titip salam sama Langit.”

Itu Ega, ia mengedipkan sebelah matanya, masih belum lelah menggodaku.

“Tinggal natap ke atas, luas tuh langit!” balasku acuh.

Egi menunjuk ke loteng, “Ini mah langit-langit.”

“Ish! Yang di luar.”

“Di luar ada Langit.” Ega menimpali.

Aku mengangguk, tersenyum ke arah kembar identik itu, butuh waktu satu tahun untuk bisa membedakan mereka, dulu mereka sering menggodaku ketika salah mengenali, “Nah, anak pintar.”

“Tapi, di luar emang ada Langit, Al.”

Aku berhenti menyusun buku ke dalam tasku, “Iya, ‘kan gue bilang anak pintar.”

“Tapi, bukan langit.”

“Tapi Langit!”

Kedua saudara kembar itu mulai lagi, jika salah satu dari mereka tidak hadir atau menghilang nanti, ingatkan aku untuk menyiksa yang satunya.

“Udah deh, sono kalian pulang! Pusing gue!” usirku.

Keduanya saling berpandangan sebentar, saling tersenyum, kemudian serentak mengangkat kedua bahunya acuh, sangat kompak.

“Bukan langit.” Ega kembali bersuara, tapi aku memilih sibuk dengan urusan menyusun buku ke dalam tas.

“Tapi Angkasa Langit.” Egi menambahkan.

Kegiatanku untuk sementara terhenti.

Bukan langit. 

Tapi Angkasa Langit.

Menimbang sebentar, aku kembali acuh, tidak mungikin Langit ke kelasku, kelas kami cukup berjarak, apalagi yang mengatakan hal tersebut adalah Ega dan Egi.

Usai dengan kegiatanku, aku menutup tas, menyandangnya, “Kalian, gue duluan ya.” ucapku pada Fina, Radit, dan Dira yang sedang piket.

Mereka bertiga serentak mengangguk, “Ya.”

Begitu melangkahkan kaki ke luar kelas, aku kembali mengurungkan niatku, mundur dengan perlahan, “Nggak jadi pulang, Al?” Dira bertanya.

Aku menggeleng, “Keadaan di luar lagi nggak aman!” bisikku.

Aku menetralkan napas yang entah kenapa tiba-tiba tidak beraturan, kenapa manusia itu ada di depan kelasku?

Dari banyaknya tempat duduk, kenapa malah duduk di bangku depan kelas?

Dira hanya tersenyum, “Cuma Langit toh, kesempatan tuh buat dekat sama dia, banyak loh yang pengen jadi pacarnya,” ucapnya.

Aku memutar bola mata, “karna itu, Ra, diteror gue kalo dekat sama dia, lagian napa sih tuh anak tiba-tiba dekatin? Masa tenang gue satu stengah tahun ke depan di SMA Venus lenyap dong!” keluhku.

Fina dan Dira terkekeh kecil mendengarnya, sedang Radit sibuk mengangkat kursi, kuperhatikan entah kenapa sedari tadi Radit sedikit pendiam, biasanya ia selalu bergabung bersamaku dan Lea di kantin. Aku baru ingat jika tadi dia tidak datang ke kantin.

“Gue keluarnya bareng kalian aja ya,” putusku, memilih duduk di bangku guru.

“Mau gue bantuin?” 

Aku menoleh, Radit telah berdiri di sampingku, menyandang tas miliknya, ternyata tugasnya telah selesai, hanya menunggu Fina dan Dira selesai menyapu.

Aku menyerngit, heran, “Bantuin apa?”

“Kalo emang Langit ke sini cari lo, gue bantuin deh supaya lepas dari dia,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mendongak, alih berdiri di sebelahnya, menatap cowok berambut cepak itu dengan senyum semringah, Radit selalu baik padaku.

“Beneran?” aku memastikan, ia mengangguk.

“Wah, boleh banget! Ayo!”

Tanpa pikir panjang, langsung saja aku menyeret Radit keluar kelas, “Eh, kita blom kelar piket nih!” teriak Fina menghentikan langkahku.

“Ya ‘kan tugas Radit dah selesai.”

Lihat selengkapnya