“Sini!” ucapku menepuk bahunya, sedikit kesal karena sedari tadi cowok itu terus mengemudikan motornya dengan sedikit mengebut, aku bahkan dengan terpaksa sampai berpegangan pada jaket yang ia kenakan.
“Oh, disini toh rumahnya mertua gue,” ucapnya lagi.
“Enak aja mertua lo!” sewotku sambil turun dari motornya.
Langit tersenyum, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi.
“Udah, pulang sana, gue mau masuk!” usirku.
Menurutku, aku tidak boleh terlalu lembut pada Langit, takut dia kesenangan dan semakin mendekatiku, sudah kukatakan bukan sebelumnya?
Aku tidak ingin terbawa perasaan pada manusia di depanku ini, aku takut jika nanti dia hanya main-main, namun aku tersakiti.
Tapi, Langit tentu saja tidak mudah untuk diperintah-perintah, cowok itu sudah turun dari motornya, membuka helm fullface miliknya, kemudian dengan sengaja, ia menyibak rambutnya yang berantakan itu ke belakang.
Jujur, dalam beberapa saat, aku terpesona.
Ia berjalan mendahuluiku, menuju teras rumah.
“Oi, lo nggak boleh masuk!” ucapku, menarik jaket denimnya kebelakang.
Tapi, kurasa usahaku sia-sia karena tentu saja tenaganya jauh lebih besar dariku.
Ia tetap berjalan menuju rumah, mendahuluiku yang masih berusaha untuk menyuruhnya berbalik, tapi hal itu sama sekali percuma ketika dengan tidak bisa kuduga, Mama berdiri di depan pintu.
Iya, wanita yang melahirkanku itu baru saja membuka pintu rumah dan sekarang sedang menunjukkan wajah kagetnya ketika mendapatiku sedang bersama Langit, yang sialnya posisiku ini sangat tidak menguntungkan.
Bayangkan saja, aku sedang memegang kedua bagian pinggang Langit dari belakang, salah satu upaya untuk memaksanya berbalik, tapi aku tentu saja mengerti tentang apa yang ada di pikiran mama sekarang, apalagi dengan senyum misteriusnya itu.
Mama bersender pada bibir pintu, “Kalian, ngapain?” tanyanya.
Aku melepas pegangan pada pinggang Langit, mendorong cowok itu kesal, “Eh, nggak, Ma. Dia aku suruh pulang malah maksa pengen masuk.”
Mama kembali tersenyum, menghampiriku dan Langit yang masih berdiri di sebelahku, dari sini aku dapat melihat bahwa ia juga sedang tersenyum, membalas senyuman milik Mama.
“Kok disuruh pulang? Ayo, Nak, masuk dulu.”
“Jangan, Ma!”
“Kenapa? Nggak mau ngenalin pacar sama Mama?”
Aku gelagapan, langsung menggeleng, “Bukan, dia bukan pacarku, kenal aja nggak!” tukasku lagi.
“Ya kali kamu mau diantar pulang sama orang yang nggak dikenal, ayo masuk.”
Aku mendengus, melayangkan tatapan permusuhan pada Langit, menatapnya tajam seolah mengisyaratkan agar menyuruhnya pulang.
Langit tersenyum mengejek, tanpa sepengetahuan Mama, ia menjulurkan lidahnya ke arahku.
Untung ada Mama, kalau tidak akan ku-bully habis-habisan anak itu, aku rela di bully balik oleh para penggemarnya yang banyak itu begitu puas mem-bully-nya.
Mama mengajak Langit untuk duduk di ruang tamu, bahkan dengan sengaja beliau mengacuhkanku, tentu saja tidak ingin ambil pusing, melangkah ke arah kamarku, mengunci diri disana sampai nanti Langit pulang sendiri.
“Al, kamu mau kemana? Buatin minuman sini buat Langit, temenin dia dong, masa ditinggal gitu aja,” ucapan Mama menghentikan langkahku, bahkan ia sudah tahu nama Langit, tunggu apa saja yang akan dikatakan oleh anak itu pada Mama.
Aku mendengus, rencana yang dalam sekejap dirancang itu, juga langsung pupus dalam sekejap, dasar Langit, semakin menyebalkan saja dia, walau tidak berbuat apa-apa padaku, kecuali senyuman menyebalkan miliknya itu.
✉📜
Aku melangkah ke dalam gerbang dengan lambang Planet Venus diatasnya dengan langkah gontai, sedikit tidak semangat.