Aku mendengus, berusaha mengabaikan Langit yang kali ini semakin gencar-gencarnya mendekatiku, aku masih bertanya-tanya sampai sekarang tentang apa yang membuatnya begitu sering mendekatiku akhir-akhir ini.
Setelah peristiwa perebutan tempat duduk tiga hari yang lalu-yang berujung pada aku memarahi mereka dan memilih Radit sebagai pemenang dengan ia duduk di sebelahku.
Hari itu, Radit tentu saja merasa menang dan tersenyum ke arah Langit yang mendelik padanya, jujur saja sedikit menjadi hiburan bagiku.
Setelah hari-hari itu, beberapa kali Langit masih mencoba merecoki dengan berbagai hal, sepeeti sekarang yang katanya ia membuat puisi baru untukku, bertanya padaku apa aku penarasan pada puisi itu yang langsung kujawab dengan tidak.
“Mentari, nanti pulang bareng gue lagi ya, kangen sama mertua gue.”
Aku mendelik, menatapnya tajam, meski tatapanku masih tak kalah tajam dari beberapa fans Langit yang sedang menatapku, tatapan mereka semakin menudingku begitu mendengar Langit menawarkan pulang bersama.
“Pergi sana! Nggak mau gue pulang sama lo, bukannya nyampe rumah, malah dicincang sama fans lo itu.”
“Oh, jadi lo cemburu ya kalo banyak cewek yang dekatin gue?”
“Nggak! Sama sekali nggak!”
“Tapi gue cemburu loh kalau lo dekat sama si Radit itu.”
“Langit, please deh, jangan gombalin gue lagi! Cari korban lain sana.”
“Tapi gue nggak gombal kok!”
Aku mengacuhkan, kembali masuk ke dalam kelas, sedikit heran juga karena Langit rela naik ke lantai dua untuk sekedar merecokiku, padahal kelas bahasa berada tepat di bawah kelasku.
“Mentari, nanti pulang sama gue!” teriaknya dari luar.
Aku mendengus, menangkup kepala ke atas meja.
“Pulang bareng tuh!” Lea menimpali.
“Diam lo!” kecamku.
Pelajaran selanjutnya Bahasa Indonesia dengan Bu Desi, jadi untuk mewanti-wanti, aku mengecek laci, takut-takut Langit menyelundupkan surat kembali ke laciku mengingat tadi dia baru saja membahas tentang puisi.
Tapi untunglah surat itu tidak kutemukan, aku cukup bernapas lega karena tidak akan membaca puisi Langit yang terkesan lebay.
✉📜
Bel pulang berbunyi dan itu bukanlah hal yang ingin kudengar sedari tadi, aku menghela napas, percuma juga bel itu berbunyi jika aku sama sekali belum boleh pulang.
Kedatangan Bu Desi tadi membawa kabar buruk bagiku, ulangan yang beliau selenggarakan satu minggu yang lalu, kabar buruknya nilaiku tidak tuntas.
“Bahasa Indonesia saja tidak tuntas, mau jadi apa kalian sebagai anak bangsa?” begitu katanya tadi.
Terakhir kali, Bu Desi mengatakan pada kami yang tidak tuntas, yang jumlahnya hampir setengah-termasuk aku di dalamnya untuk mengukuti kelas tambahannya, katanya generasi seperti kami harus ditempa habis-habisan.
Aku harus menghela napas, terlebih Lea yang sedari tadi meledek, mengatakan padaku jika setelah pulang ia akan nonton drama sampai puas karena besok tidak ada tugas, padahal nilainya hanya pas kriteria, tapi tetap saja dia lebih beruntung dariku.
“Alya! Langit nyariin lo!” teriakan Karin di ujung pintu membuatku semakin mendengus, sudah seperti sapi saja, mendengus setiap saat.
“Bilang gue nggak pulang!”
Setelah mengatakan itu, aku menangkupkan kepala ke atas meja, menunggu Bu Desi kembali masuk ke kelas, mengisi kelas tambahan hari ini.
Tidak lama setelahnya, seseorang mengelus-elus kepalaku, aku langsung mendongak dan mendapati Langit sudah berdiri di sana.
“Ngapain lo?” tanyaku keras.
“Pulang ayok!”
“Pulang pala lo! Gue tambahan ini!”
Langit tersenyum tipis, entah ia tersenyum karena aku yang tidak tuntas tersengar konyol baginya atau malah ia tersenyum maklum dengan kegagalanku.
“Mapel apa yang nggak tuntas emangnya?”
“Bahasa Indonesia.”
“Makanya, lo harus dekat sama gue, untung-untung bisa hebat Bahasa Indonesia, ‘kan?”
“Dih, sono lo! Bu Desi datang tuh.”
Aku mendorongnya dengan sebelah tangan, bersyukur dengan kedatangan Bu Desi yang tadinya tidak kuinginkan, sepertinya setiap moment hanya perlu waktu yang tepat.
Langit keluar dan Bu Desi masuk, mereka sempat saling menyapa di depan pintu, dan dimulailah masa membosankan selama sekitar satu setengah jam ke depan.
Satu setengah jam yang awalnya kuharapkan ternyata tidak sesuai ekspetasi, Bu Desi mengajarkan hal yang sama saja tidak kumengerti sampai akhir selama dua jam lebih, sebentar lagi adzan maghrib dan hari sudah mulai menggelap.
Sebenarnya, aku yakin Bu Desi tidak akan berhenti sampai malam, tapi karena bantuan Banu yang mengatakan ia tidak memberitahu akan pulang malam dengan Ibunya dan Ibunya sudah cemas dengannya-aku tahu itu cuma akal-akalan Banu yang sudah mendengar dengan telinganya bahwa warnet memanggilnya.
Akhirnya dengan tidak rela, Bu Desi menghentikan proses tambahan yang aku yakini kami semua juga tidak akan mengerti, aku hanya perlu bernapas lega ketika Bu Desi menyuruh pulang.
Tapi lagi-lagi kesialan menghampiriku ketika Pak Waluyo mengatakan jika beliau dan Papa yang pulang kerja terjebak macet, hari sudah mulai gelap, dan aku tidak tahu pulang dengan apa.
“Akhirnya pulang juga, udah lama gue nungguin.”