Hal pertama kali yang kulihat setelah membuka mata kembali ialah ruangan serba putih dengan lambang palang merah di salah satu dindingnya, juga beberapa piala berjejer rapi, aku kenal ruangan ini, UKS, beberapa kali pura-pura sakit ketika upacara.
Tapi kemudian mataku memandang seorang cowok yang kuyakini sedang tertidur, menggenggam salah satu tanganku yang sudah diperban, dari rambutnya aku sangat mengenal kalau cowok tersebut adalah Langit.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan ini selain kami berdua, dan dari jam dinding bulat berwarna putih itu aku tahu sekarang sedang berlangsung jam pelajaran ke tujuh, kurang lebih diriku pingsan selama satu jam lebih.
Aku kembali mengalihkan pandangan pada Langit yang mungkin wajahnya sudah babak belur akibat perkelahian tadi, tapi karena ia sedang tertidur dan menelungkupkan kepalanya, aku tidak bisa melihat bagaimana kondisi wajah itu.
Dalam hati, yang pasti perasaanku menghangat ketika mengingat diriku ada yang menemani ketika pingsan, maksudku ada cowok yang menemaniku di UKS sambil tertidur dan menggenggam tanganku, seperti scene drama yang sedari dulu aku impikan.
Perasaan hangat itu tak berlangsung lama setelah aku menyadari jika tanganku yang digenggam oleh Langit terasa kebas, akibat terlalu lama tidak melakukan gerakan barangkali, dan tidak ingin menambah rasa sakit apalagi beberapa kali rasa menusuk itu menghampiriku, aku menggerakkan sedikit lenganku.
Sialnya, gerakan kecil itu membuat Langit langsung terjaga, ia membangkitkan kepalanya dan menatapku dengan muka bantal, persis seperti orang bangun tidur, tapi untuk Langit bangun tidur versi yang lebih ganteng.
Cowok itu mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian mengucek matanya, setelah itu dengan tidak bersalah melemparkan senyuman manis padaku.
Kepada jantung, kenapa kau malah berdetak tak beraturan sekarang?
“Mentari, kamu sudah baikan? Ada yang sakit?” dia bertanya dengan perhatian, syukurlah ia tidak menanyakan beberapa pertanyaan tidak berharga seperti ‘kamu sudah sadar’ misalnya.
“Sudah baikan dan nggak ada yang sakit, cuma tangan gue sedikit kesemutan karena digenggam terlalu lama,” balasku malas.
Langit meringis, “Maaf,” ucapnya kemudian dengan cengengesan.
Aku hanya mengangguk singkat.
“Tidak, maksudku maaf karena telah mendorongmu, maaf karena membuatmu pingsan.”
Aku kembali mengangguk.
“Apakah rasanya begitu sakit hingga membuat kamu pingsan.”
Aku terdiam sejenak, bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi aku baru sadar jika kata-kata yang diucapkan Langit kepadaku terdengar indah di telingaku.
The power of anak bahasa.
Ia begitu pandai merangkai kata hingga terdengar begitu indah.
Atau jangan-jangan otakku rusak? Bagaimana bisa aku memuji kata-kata yang diucapkan oleh Langit yang notabenenya ialah orang yang selalu membuat puisi.
Maksudku, tentu saja beberapa kali tanpa sadar kalimat yang ia ucapkan begitu indah.
“Mentari?” cowok itu memanggilku, mengembalikan pada kenyataan bahwa aku baru saja melakukan kegiatan bodoh, melamunkan Langit dan keindahan bahasanya.
“Hmm ... ya, maksudnya gue phobia darah.”
“Maaf aku tidak tahu, tapi apa kita bisa bicara menggunakan aku kamu? Kita pacaran ‘kan?” cowok itu menaik turunkan alisnya menggodaku.
Pada saat itulah aku merasa sangat menyesal karena telah memujinya, bagaimanapun Langit tetap menyebalkan.
“Terserah, gue lagi lelah, Langit.”
“Aku kamu, Mentari.”
Aku berdecak sebal, “Iya, iya, aku capek.”
“Hmm ... kalau boleh tahu, apa yang kamu takutkan selain darah.”
“Laba-laba, mungkin.”
Langit mengangguk, “Pacar, nanti aku yang mengantarmu pulang, ya. Aku rindu mama mertua.”