“Bri, mau print. Ini flashdisknya. File yang woro-woro, ya.” Kuangsurkan flashdisk merah di atas etalase kaca. Febri yang saat itu sedang membereskan foto kopian segera menoleh ke arahku.
“Oke! Jadi berapa lembar, Mun?”
“Jadi berapa ya?” Sambil melihat Febri, aku mulai mengetuk-ngetuk kaca etalase dengan jari telunjuk.
“Lha kamu maunya jadi berapa?” Febri bergerak mendekat. Mengambil flashdisk itu di depanku.
“Tiang listrik di RT kita ada berapa sih, Bri?” tanyaku sambil mengingat-ingat semua letak tempat tiang listrik di RT kami sambil membenahkan bandana bertelinga kelinci di kepalaku. Febri menatapku sambil nyengir kuda.
“Tiang listrik segala, Mun? Macam nyari anak kucing aja kau.”
“Lho ini kan woro-woro, Bri. Biasanya kalau pengumuman ditempel di tiang listrik juga kan, biar kebaca gitu,” jelasku. Febri manggut-manggut sambil berlalu ke arah komputernya. Kurasa dia mulai paham.
“Memangnya kamu sedang mau nyari apa?” Febri mulai menyambungkan flashdisk dengan komputer lalu mencari file yang kumaksud. Ke dua bola matanya fokus ke arah layar komputer. Sedangkan jari-jarinya cekatan menarik cursor mouse.
“Nyari ....”
“Dicari suami idaman. File yang ini, Mun?” Febri menatapku ragu. Aku mengangguk sebelum detik kemudian netranya terbelalak.
Febri tertegun sebentar sebelum tawanya meledak. Aku sendiri menatapnya dengan penuh kejengkelan. Habisnya dia tertawa sampai kursinya bergerak-gerak. Spontan bibirku mengerucut.
“Gak usah ketawa sampe segitunya kaleee ....” Aku meliriknya dengan sinis. Tawanya semakin melengking keras.
“Gimana, Mun? Gak denger aku.”
Aku menatapnya geram. Kemudian berdeham dua kali sebelum akhirnya berteriak kencang-kencang, “Kagak usah ketawa sampe segitunya keles ... gemes kali aku!”
“Nggak dijadiin bener aja, Mun. Dipajang di depan gang rumahmu gitu. Entar pasti banyak yang baca. Hahaha ....” Aku mendengus kesal. Si kucluk itu masih saja tertawa, membuatku kali ini benar-benar ingin menimpuk kepalanya. Awas saja nanti!
Saat akan membalas kalimat Febri, suara deru motor matic mengalihkan perhatianku. Motor matic itu berhenti tepat di depan ruko si Kucluk. Aku terpana, tertegun lama menyaksikan siapa yang datang. Tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang. Seorang pangeran kian mendekatiku.
“Bri, tolong foto kopikan makalah ini, ya.” Febri menoleh. Menatap lelaki yang sudah berdiri di sampingku, lalu melirik makalahnya.
“Siap! Dijilid juga apa, Mas?”
“Iya, Bri. Sampulnya yang warna ijo, ya.”
“Oh, oke, Mas. Mau jadi berapa ini?”
“Jadi empat, Bri. Aku tinggal dulu. Nanti sorean kuambil.”