LANGIT BIRU. Awan putih. Mentari cerah bersinar. Cuaca Minggu pagi itu benar-benar mendukung niat Raden untuk mengenal lebih dekat gadis pujaan hatinya. Oh, sebentar. Penampilannya sudah oke, kan? Tatanan rambutnya tidak norak, kan? Aroma musky di tubuhnya tidak menyengat, kan? Sungguh, ia tidak percaya untuk mempersiapkan semua ini ia rela begadang semalaman.
Baiklah, Raden tak menyangkal sudah setahun ini ia menjatuhkan pilihan hatinya terhadap gadis itu. Payahnya, ia hanya berani memandangnya dari kejauhan. Tidak percaya diri untuk sekadar menyapa, meskipun dengan predikatnya sebagai idola gandrungan para mahasiswi sangat memungkinnya mudah meluluhkan hati siapa saja. Sepertinya jika bukan karena dorongan Jono, mungkin sampai saat ini Raden masih akan terus memendam perasaannya seorang diri.
Perasaan cintanya pada Andara Haruni.
Seminggu sebelumnya atau tepat usai pertandingan basket itu, Raden yang fokusnya mendadak tertambat ke arah parkiran motor seketika lupa dengan tujuannya menjemput sang mami.
"Woy, Den! Napa koen malah diam bae nang kana? Jaremu arep cepat-cepat jemput Kanjeng Mami," tegur Jono ketika melihat sejawatnya itu tidak jadi pergi.
Bukannya menyahut, Raden justru tersenyum-senyum sendiri.
"Den! Sarden kaleng ... kesurupan cah kiye?"
Raden mengerjap, lalu menoleh Jono seiring senyumnya yang dua kali lebih lebar. Jono bergidik ngeri.
"Jon, kayaknya aku udah nggak waras," ujar Raden dengan ekspresi mengawang.
Jono semakin bergidik. "Ya wis, ayo, inyong anterin ketemu pak ustaz biar jiwamu dibersihkan dari aura-aura negatif."
"Heh, memangnya kerasukan jin lampu teplok apa?!"