"TOLONG, sebentar saja. Saya hanya ingin bicara sebentar dengan Ayu."
"Waduh, sekali lagi maaf, Mas. Saya juga ndak bisa membantu. Sebaiknya Mas ini pulang saja. Percuma, Non Ayu ndak mau ketemu sama Masnya."
Raden berdecak frustrasi ketika bibi asisten rumah tangga keluarga Ayu itu berlalu begitu saja. Raden sama sekali tidak mengerti kenapa Ayu menolak bertemu dengannya. Tanpa mengetahui duduk persoalan yang terjadi, tiba-tiba saja gadis itu seperti bersikap menjauhinya.
Apa salah Raden? Padahal ia sudah sangat khawatir karena tidak mendapati keberadaan Ayu di kampus. Sewaktu Raden mengorek informasi pada salah satu teman Ayu, siang itu Ayu memang tidak hadir di kelas kuliahnya. Tidak biasanya, sebab Ayu dikenal selalu rajin masuk kelas. Kecuali, jika kemungkinan Ayu sedang sakit.
Tanpa berpikir dua kali lipat lagi, Raden bergegas pergi ke rumah Ayu demi memastikan sendiri keadaan gadis itu. Tentu saja Raden masih hapal rumahnya, sebab usai dari Taman Bianglala itu ia turut mengantar pulang Ayu dan Chia. Namun, setiba di rumah bergaya retro minimalis itu, Raden justru menelan kekecewaan ketika Ayu bahkan tidak memberinya kesempatan berbicara.
Raden mengusap kasar wajahnya. Diempaskan punggungnya yang lemas pada jeruji gerbang rumah Ayu yang tertutup.
Baiklah, kalau itu mau Ayu. Tidak peduli sekalipun mendung di atas sana siap memuntahkan muatannya, Raden akan tetap menunggu Ayu. Menunggu gadis yang dicintainya.
"Terus, apa rencana selanjutnya? Apa koen masih mau memperjuangkan cinta buat Dara?"
"Entahlah, Jon. Cuma kalau boleh jujur, sebenarnya ... aku mulai tertarik dengan Ayu."
"NANI KORE?! TENANE?! SERIUS?!"
Raden serius. Ia bahkan seperti tidak mengenali dirinya sendiri untuk menjadi seserius ini. Hingga sebuah kesadaran menghampirinya tanpa debat. Bahwa satu harinya bersama Ayu tak serupa dengan satu tahunnya menjadi pengagum rahasia Dara.
Raden mencintai Ayu ... itu kenyataan.
Raden mencintai Ayu setulus ia ingin menjadikan Ayu pasangan halalnya kelak.