SEKUJUR tubuh Raden telah basah kuyup di bawah guyuran hujan itu. Bibirnya bergetar menahan dingin. Raden berjongkok sembari memeluk tubuhnya sendiri yang kian menggigil. Kendati demikian, belum ada tanda-tanda ia akan mengakhiri pertahanannya. Bukan Raden Abhinanda Khalavi namanya kalau baru segini sudah mau angkat tangan.
Gerbang itu masih tertutup. Setidaknya Raden tidak akan berhenti berharap ada sosok Ayu yang sebentar lagi keluar dari sana. Sebagaimana kemunculan seorang gadis bergamis burberry dengan pashmina senada warna kuning payung yang dibawanya itu telah pula menyediakan naungan di atas kepala Raden.
Raden mendongak. Sisa air hujan yang menetes dari ujung-ujung rambut tidak menghalanginya untuk mengenali wajah gadis bernama lengkap Kurnia Ayuningtyas itu.
Keadaan Raden sudah jauh lebih baik setelah sebuah handuk yang diberikan Ayu cukup berguna untuk mengeringkan rambutnya. Secangkir teh hangat berorama melati juga disuguhkan Bi Saroh. Namun, lebih daripada itu, Raden merasa senang karena Ayu sudah bersedia menemuinya.
"Holeeee! Bunda sama ayah udah baikan!" sorak Chia melonjak-lonjak girang.
Ayu sedikit membungkukkan tubuhnya di depan Chia, lalu mengusap-usap lembut pipi gembil anak itu. "Chia ... Chia main sama Pus dulu di dalam, ya? Bunda mau bicara sebentar sama ... ayah." Ayu sedikit melirik canggung Raden yang masih duduk di bangku akar kayu teras rumahnya.
"Iya, Bunda," patuh Chia, lalu menghampiri seekor kucing betina berbadan melar yang dengan santainya tiduran telentang di sofa depan televisi.
Sepeninggal Chia, Ayu mengambil posisi duduk pada bangku akar kayu samping Raden.
"Makasih, Ayu." Raden membuka percakapan.