AYU menunggu pertanyaannya dijawab.
"Teman masa kecil saya, wajahnya sangat mirip dengan Dara."
Tepat begitu kalimat yang dicetuskan Raden itu kontan menyedot atensi Ayu pada punggung laki-laki jangkung tersebut. Ayu tidak menyela dan menunggu Raden mencurahkan semua yang terpendam dalam dadanya.
"Namanya Rita. Dia orang terdekat saya sejak kami sama-sama kecil. Saking dekat hubungan kami, hingga untuk beberapa hal saya menjadi bergantung padanya." Raden mendongak hamparan langit yang telah berganti warna. Kemilau matahari berjaya menyibak kelabu. Namun, berganti hatinya yang kini menyebar kelabu.
"Hari itu kelulusan SMA kami," sambung Raden dengan ekspresi mengawang. "Seperti biasa, saya mengantarnya pulang dengan motor. Saya ingat sepanjang perjalanan itu tiada bosannya Rita berceloteh tentang dia yang nggak sabar sebentar lagi bisa jadi anak kuliahan. Dia mau belajar Hukum sesuai cita-citanya. Sampai sebuah kejadian terburuk itu menimpa kami. Memaksa saya menerima kenyataan bahwa saat itu juga menjadi hari terakhir kami bisa bersama. Motor yang kami naiki tertabrak mobil salah jalur hingga kemudian mengakibatkan kecelakaan beruntun."
Di belakangnya, Ayu mengatup mulut dengan kedua telapak tangannya. Sementara Raden yang membiarkan sepasang matanya terpejam dengan asa mengurangi gumpalan asak di dadanya justru tidak mampu mencegah bendungan air mata itu terjun bebas.
Raden tahu ia masih harus menguak kisah lalunya di hadapan Ayu. Ia pun melanjutkan usai menyeka jejak basah di pipi itu. "Saat terbangun di rumah sakit, saya menyadari hanya saya yang selamat dalam kecelakaan itu. Rita meninggal gara-gara saya. Rasa bersalah itu terus menghantui saya setiap hari. Penyesalan yang begitu besar selalu mendorong pikiran sempit saya untuk mencari cara supaya menyusul Rita. Hari demi hari saya habiskan tak ubahnya patung tanpa semangat hidup. Sampai papi saya membawa seorang dokter kenalannya untuk menangani kondisi psikologis saya. Belum cukup di situ, seorang guru di pesantren juga membimbing saya untuk lebih bisa belajar menerima takdir. Saya sadar selama ini udah berlebihan dalam mengandalkan Rita. Ketika Rita pergi, saya menjadi berputus asa dari rahmat Allah."
Tungkai Ayu yang mendadak terasa kaku dengan susah payah mengambil beberapa kali langkah mundur. Gerakannya terhenti ketika di belakangnya sudah mentok bangku akar kayu yang kemudian membuat gadis kurus itu terperenyak.
"Saya ingin bertobat. Keluar dari kubangan dosa atas perbuatan saya yang menzalimi diri sendiri. Terapi medis dan spiritual, perlahan membuka pandangan saya untuk menata kembali napas kehidupan yang masih diberikan-Nya. Sesuatu yang terlambat saya syukuri, tetapi nggak ingin saya sia-siakan lagi."
Raden berbalik dan mendekati Ayu yang menundukkan kepalanya. "Sewaktu melihat Dara di kegiatan maba tahun lalu, saya seperti melihat Rita hidup kembali. Hal itu mulai mengusik kembali ingatan masa lalu saya tentang Rita. Saya bahkan nggak sanggup bercerita sama mami saya sendiri. Saya nggak mau bikin mami sedih kalau saya masih menyebut-nyebut lagi tentang Rita seperti dulu. Jadi sejak saat itu saya hanya bisa menyibukkan diri dengan menjadi pengagum rahasia Dara. Lalu seperti yang kamu tahu, pada akhirnya saya mengirimkan surat itu. Tapi kemudian saya tersadar kalau perasaan saya pada Dara itu salah. Saya terobsesi dengannya hanya karena mirip Rita. Dara nggak akan pernah menjadi Rita. Dan Rita pun akan tetap menjadi sepotong bagian masa lalu yang nggak perlu saya usik lagi ketenangannya sekarang di alam baka."
Ayu masih tersenak kata. Tatapannya hanya menekuri jemari tangannya yang saling beradu di atas paha.