Koridor asrama terlampau sepi, hanya cahaya remang-remang yang tampak sepanjang lorong. Setengah jam lalu, bel tidur berbunyi, semua lampu putih dalam sekejap beralih menjadi cahaya kuning temaram, itulah kerja halus pengurus pondok. Alam mimpi telah melambai lembut. Bantal dan tikar siap memeluk dan memanjakan penuntut ilmu. Santri yang masih terjaga ditengah malam seperti ini, biasanya hanya kubangan santri persiapan muchadloroh atau para organisator yang rapat. Dan aku bukanlah aktivis.
Kali ini aku memutuskan berjibaku dengan sahabat Alfiyah ibnu malik untuk menuntaskan bait nadhom yang belum target untuk setoran minggu ini. Kurikulum pesantren menargetkan 30 bait perminggu untuk tingkatan madin ulya. Pandanganku menyapu kearah lorong asrama yang begitu panjang, asrama ini hampir mirip dengan lorong kamar mayat yang begitu panjang. Tiada manusia satupun yang melintas. Sepoi angin malam perlahan menyibak jilbab hitamku. Sejenak, kutatap langit yang hitam pekat. Layang pandangku sudah agak sinting rupanya. Bisa-bisanya aku melihat putih-putih terbang dilangit sepekat itu. Ah, abaikan, efek film horor yang kutonton kemarin. Ini ujian merengkuh mas Al, Alfiyah Ibnu Malik.
Tiba-tiba dalam benakku dipenuhi kabut bayang makhluk gaib yang tiba-tiba menemaniku duduk didepan asrama, tepat disampingku sembari melantunkan bait indah alfiyah ibnu malik. Kupejamkan mata, aku ingin mengembalikan titik fokus pada bait nadhom. Tiba-tiba terasa ada yang mencolekku secara pelan dari arah belakang.
"Ssssssshhhhh...." suara itu benar-benar mengalun pelan ditelingaku. Ya, tidak salah lagi. Siap-siap mati atau lari.
Oke, kali ini aku harus lari. Dalam hitungan ketiga, aku akan lari terbirit. 1, 2, tiiiii.........
Aku mulai angkat pantat. Siap menerjang malaikat maut.
"Dek Husna." Ucap pelan mbak Diva sembari menarik bajuku.
Ya, itu tak salah lagi. Suara mbak Diva. Aku membuka mata pelan.
"Ya robb....mbak Divaaaaa!!!" Teriakku pelan gemas sembari terkejut dengan wajah masam. Rupanya mbak Diva benar-benar bangga berhasil menjailiku.
"Ikik ikik ikik. Bisa-bisanya wajahmu sepucat itu dek." Ledek mbak Diva.
"Ah, embuh. Sebel. Aku hampir jantungan dan mati ditempat!" Ketusku.
"Ha ha. Tak apa lah. Mengganggu ya?"
"Iya. Banget!" Tukasku.
"Maaf deh."
"Lain kali, tolong jangan jail! Aku masih terngiang film horor kemarin." Tukasku sedikit menelan ludah ketakutan.
Ya, sekitar tiga minggu lalu ditengah liburan pesantren, aku diajak mbak Alesh menonton film horor dibioskop, sedangkan mbak Diva sendiri masih ada urusan kampus yang harus diselesaikan.
Mbak Alesh merupakan adik kandung mbak Diva. Kedua kakak beradik ini sangatlah bertolak belakang, mba Diva merupakan aktivis dan punya kecerdasan diatas rata-rata, serta paras yang menawan, sedangkan mbak Alesh lebih hitam manis dan kognitifnya standar, lebih kalem juga, pembawaannya lebih kaku mirip kanebo yang dijemur. Namun bahasa tubuhnya melukis seribu rahasia yang tidak terdeteksi olehku. Aku hanya dapat menebak dalam benak.
Pondok Darul haq memang terbilang keramat dan sedikit menyeramkan, tidak hanya santri terlihat mata, namun ada juga santri yang tak kasat mata, yaitu jin-jin baik, namun pesantren ini masih banyak diminati diberbagai kalangan karena meskipun salaf, pesantren ini terus melaju mengikuti arus perkembangan zaman. Selain itu, pengasuh dan masyayikhnya yang kharismatik membawa pengaruh besar terhadap santri dan masyarakat luas.
Hanya saja, dipesantren ini membutuhkan ketahanan mental luar biasa agar sampai pada titik yang dituju, terutama yang berkaitan dengan hal-hal gaib. Baik santri yang tidak taat peraturan ataupun punya himmah tinggi (terjaga malam), akan merasakan sendiri sentuhan langsung dengan makhluk tak kasat mata entah melalui indra pendengaran, penglihatan, atau rasa.
Aku menghapus kabut bayangan dalam lipatan memori dan berupaya lebih santai. Mbak Diva adalah wanita paling tangguh menghadapi makhluk tak kasat mata. Wajar bukan? pemangku cita-cita terbiasa disuguhkan hal-hal menantang, termasuk makhluk gaib.
"Dek Husna."
Dari kalangan santri karibku, hanyalah mbak Diva yang memanggilku dengan nama asli. Maklum, dikalangan santri nama laqob lebih terkenal dari nama asli. Bahkan ada yang mungkin tidak tahu nama asliku, Farida Husna Nafia. Ya, harus kuakui. Aku bukanlah santri populer yang punya prestasi atau bakat tertentu seperti mbak Diva dan deretan nama lainnya. Sebagai santri biasa dengan segala keterbatasan, tak heran ada yang tidak hafal namaku. Toh, jumlah santri pesantren salaf ini terbilang banyak yaitu 5.250 santri putra dan 5.750 santri putri. Kecil kemungkinanku dihafal banyak manusia.
Selain mbak Diva, nama familiarku adalah gingsul yang kemudian dinobatkan menjadi nama laqobku. Singkatnya mereka memanggilku dengan sebutan Gin. Gigiku yang satu ini memang tidak bisa berbaris rapi ala teman-teman lainnya. Namun, aku tak tersinggung sama sekali. Toh, mereka tak berniat merendahkanku. Malah ada beberapa orang yang berkata, aku manis dengan gigi gingsul ini. Kata mereka mirip Chelsea Olivia. Tidak hanya satu dua orang yang berkata mirip Chelsea, yah mungkin 50% nya sedikit mirip. Eits, bukannya aku bangga untuk dipuji, aku tak pernah suka dipuji. Aku hanya menghargai mereka saja.
"Mbak, baru selesai rapat ya?" Tanyaku pelan.
"Iya dek, baru rapat LPJ asrama. Alhamdulillah, ini amanah jabatan terakhir yang usai. Saatnya fokus belajar jenjang akhir."
"Bukan main, kamu tak pernah gagal dalam hal apapun mbak. Akademis oke, leadership oke, sosial oke, paras oke. Sungguh beruntung lelaki yang mendapatkanmu, mbak Diva." Sanjungku mencairkan suasana hening didepan lorong asrama yang temaram menyeramkan.
"Ah, jangan seperti itu, nanti kena 'ain. Aku masih banyak minusnya. Juga coba tatap tajam mataku! Kau akan menemukan lorong panjang yang gelap dan penuh duri pilu." Lirihnya.
Iya, aku tahu. Sejak lama, perjuangan mbak Diva sampai dititik ini tidaklah mudah. Dibalik mata pandanya, ada lorong panjang yang sangat pekat. Perjuangan darah dan air mata untuk bisa sama dengan lainnya. Insomia yang hinggap dimatanya membuat ia banyak terjaga, apalagi setiap memejamkan mata dijam tidur ia selalu dihujani hal-hal menyeramkan dan mencekam dialam mimpinya. Dilengkung mimpinya, sering ia jumpai sebuah gurun seram yang penuh dengan darah, air mata, makhluk-makhluk aneh dan semacamnya. Tidurnya cukup dua jam perhari, itupun paksaan untuk terpejam. Tidak lain, kebutuhan kesehatan.
Ditengah badai cobaan menimpanya ia jadikan peluang merengkuh samudra ilmu dimalam hari. Baca kitab, mengurasi cerpen-cerpen santri, memikirkan kemashlahatan umum dan hal lainnya. Tak heran, dia berhasil menjadi peraih peringkat satu pararel dari tahun ke tahun. Selain itu, kelihaiannya dalam memimpin menjadikannya rangkap berbagai organisasi dalam periode khidmah tahun kemarin diantaranya yaitu sebagai ketua asrama, ketua himpunan daerah, wakil ketua BEM, roisatul fan tingkatan, ketua Musyawaroh mingguan, kurator naskah santri millenial, dan masih ada beberapa lagi.
"Mbak, aku mau tanya, kamu percaya hal-hal gaib?" Tanyaku pelan.
"Percaya dong, masa enggak sih." Jawabnya singkat dan tajam.
Dia diam sejenak, membaca buku fikih wanita yang ada didepannya. Kemudian melanjutkan ucapannya.
"Aku percaya sama Allah, ada malaikat, ada syurga, neraka, mahsyar, dan hal gaib lainnya."
"Bukan ini mbak, yang kumaksud!" Ketusku.
"Lho, itu kan hal-hal gaib cah. Lalu apa?" Tanyanya runcing.
"Kuntilanak, atau pocong dan semacamnya." Ucapku pelan sembari menengok kanan kiri. Aku tahu mbak Diva manusia yang biasa melihat hal-hal gaib.