Matahari merekah kuning keemasan diufuk timur. Keelokannya menyepuh pondok pesantren Darul Haq. Deru indah alunan ayat-ayat suci turut menggema memecah pagi. Lafad allahummarhamni bil Qur'an saling bersahut-sahutan antar asrama menggetarkan rongga dada. Di masjid Khadijah putri sebelah bangunan asrama tampak santri senior yang sedang mengaji kitab Fathul Mu'in. Lima menit kemudian, bel berbunyi. Hiruk pikuk santri pasca mengaji pagi kembali terbentuk. Lintas koridor asrama tampak penuh dan sesak. Setiap santri menggayuh tubuhnya menuju kamar masing-masing untuk mengembalikan Al-Qur'an dan kitab serta melanjutkan aktivitas sekolah, kuliah atau hal lainnya.
Diantara lorong panjang asrama yang sesak dan pengap, aku berjalan lebih cepat dari biasanya karena menahan buang air kecil. Tiba-tiba mbak Nining memegang lenganku. Ia membawaku sedikit menyingkir dari antrian arus santri. Aku menyisih, turun dari garis antrian. Oh iya, mbak Nining titip beberapa cucian dua hari lalu. Aku hanya menebak dalam benak.
"Gingsul, jas kuliahku sudah kering belum ya?" Tanya mbak Nining padaku. Beliau aktivis PMII dan sekretaris asrama Ketepeng.
"Maaf mbak, saya lihat dulu coba dijemuran."
"Terimakasih ya gin, soalnya besok pagi mau aku gunakan untuk sidang proposal skripsi." Tuturnya.
"Baik mbak. Insyaallah aman."
"Ya sudah, saya buru-buru mau kampus. Terimakasih sebelumnya."
"Sama-sama mbak, hati-hati."
Aku melanjutkan laju kearah kamar untuk mengembalikan Al-Qur'an. Diteruskan menerobos udara sepanjang koridor asrama untuk segera tiba dikamar mandi. Ternyata, didepan kamar mandi terlihat antrian yang mengular. Langkahku mungkin terlalu lambat seperti bekicot. Mengantri adalah sarana melatih kesabaran kadar ringan.
Beberapa saat setelah masuk dan keluar kamar mandi, aku menengok jemuran yang ada disamping asrama cengkir (kencenge pikir). Aku mencari deretan baju mbak Nining diujung jemuran besi yang memanjang. Syukurlah, baju sudah kering sejak kemarin, hanya terkena embun pagi. Hanya butuh beberapa menit untuk menerima sinar matahari.
Disaat teman-teman sebayaku mempersiapkan diri ke Kampus, aku harus mempersiapkan diri ke pabrik tempe. Jika menuruti nafsu, aku akan terus iri dengan teman sebayaku. Namun, keadaan dan nasib telah mendidikku. Aku tak mungkin dapat menyamakan diri dengan orang lain. Mereka masih punya bapak ibu utuh, sedangkan aku harus mandiri menopang kehidupan.
Detak jarum jam berhasil menghunus dukaku. Langkah kaki jarumnya tak pernah lelah melangkah, mesin waktu mengajarkanku arti hidup berkelanjutan dan selalu ada masa depan. Meskipun, Masa depan, esok, ataupun lusa selalu menyajikan hal-hal mengejutkan. Kejutan? Ah, tidak lebih dari sekedar hal-hal yang menggetarkan jiwa. Kejutan baik atau buruk yang terkemas rapi dalam takdirnya pada akhirnya tetap harus kujalani.
Jarum jam duduk diangka 06.40 WIB. Hiruk pikuk Anak-anak Tsanawiyah dan Aliyah berseragam khasnya berduyun-duyun keluar dari gerbang asrama. Mereka berjalan kearah utara, gedung pendidikan MA dan MTs. Masih ada juga beberapa gelintir yang masih sempat berjalan kearah kantin pondok untuk membeli sarapan. Aku hanya dapat melihat mereka dari lantai dua asrama kenanga, depan kamar dengan hati penuh syukur. Dikelilingi vibes yang positif.
Setengah jam kemudian, berbagai mahasiswi Institut Darul Haq juga bertebaran di halaman asrama dengan berbagai outfit khasnya masing-masing. Disaat itu juga aku mempersiapkan diri menuju pabrik tempe dengan outfit sederhanaku. Tatkala para mahasiswi menuju kearah utara timur laut menuju kampus, aku bertolak belakang arah dengan mereka. Aku kearah barat selatan jalan ke rumah produksi. Aku berjalan menuju rumah produksi dengan empat teman lainnya yang senasib sepenanggungan.
Kabut pagi masih sedikit tersisa. Kami menyusuri jalan raya disebelah selatan jalan, terdapat sawah yang membentang. Tidak terlalu luas memang, biasa lah ala kota, namun hijau daun padi yang berbalut embun itu sedikit menyejukkan mata. Kami berlima selalu berangkat 20 lebih cepat dari orang-orang luar pesantren. Misi kita berlima dirumah produksi tempe adalah menjaga alamamater pesantren, mempunyai etos kerja yang tinggi dan berintregritas. Demi nama baik pesantren. Keluarga ndalem sudah sangat baik kepada santri-santrinya, maka inilah cara kecil yang kami lalukan untuk guru-guru.
Aku teringat, aku lupa membawa buku untuk kuliah diatas istana belukar itu. Berhubung waktu masih bersahabat, aku mempersilakan mereka untuk meninggalkanku. Aku putar balik ambil buku dikamar. Kamarku kosong, senyap. Semua penghuni kamar sekolah dan kuliah.
Aku membuka lemari perlahan untuk mengambil buku dilemari dan memasukkannya kedalam tas. Aku terperanjat mendapati sebuah surat dengan ujung berdarah ditasku.