Gedung Asrama mulai tersepuh cahaya kuning keemasan. Warna tembok yang semula biru telur kini terperdaya oleh indahnya sinar mentari. Pesona kota santri tampak begitu indah memikat saat hilir mudik santri dengan aura Al-Qur'an dan kitab kuning yang mereka bawa. Dengan sangat santun para santri membawa Al-Qur'an dan kitab kuning didada, sebagai salah satu upaya mengagungkan ilmu.
Hari-hari masih seperti biasanya, tiada yang berubah sama sekali. Hanya saja, tadi malam aku tidak belajar bareng mbak Diva. Mungkin dia pulang terlalu larut. Padahal, aku mau menanyakan perihal surat misterius itu.
Aku berkemas untuk berangkat ke pabrik tempe. Bersama empat teman karyawan tempe dipesantrenku, kami mengayunkan langkah menyusuri jalan kota. Tiba disana, kami beraktivitas seperti biasanya.
Jam 12.00 WIB, Aku memandangi depan pabrik, ternyata tidak ada mba Alesh seperti kemarin. Aku melanjutkan langkah menuju kampus dan belajar diatas istana belukar seperti biasanya. Sedangkan empat temanku langsung pulang ke asrama.
Setelah usai perkuliahan, aku menyempatkan diri untuk kembali membuka surat misterius itu diatas hamparan semak belukar, istana belajar ilmu perkuliahanku.
"Hidupmu tidak akan tenang!"
Xx blood
"Siapa sebenarnya pengirimnya?"
Aku kembali menutup surat tersebut. Kupandangi area sekitar, semak belukar benar-benar tumbuh subur dibelakang kampus. Aku ingin memangkas, seperti halnya aku ingin memangkas rumput misteri ini. Misteri surat tak bertuan.
Aku mengayunkan langkah untuk pulang. Jalan dari kampus menuju asrama memakan waktu sekitar 10 menit dengan jalan kaki. Aku menengok swalayan asrama. Melihat kulkas es krim. Dalam sekejap teringat mbak Diva.
"Awas saja mbak Diva, dia masih utang es krim kepadaku gara-gara kemarin malam menakut-nakutiku." Setelah berucap sedemikian, tiba-tiba perasaanku tidak enak.
Aku melanjutkan langkah kaki menuju asrama. Saat memasuki gerbang pesantren, aku terkejut melihat ribuan santri berbondong-bong dalam satu kerumunan. Beberapa dari mereka berlari-lari dengan wajah pucat penuh ketakutan menuju arah kerumunan. Aku mengedarkan padang keseluruh arah. Wajah-wajah mereka tak sama seperti biasanya. Lingkaran pertanyaan mengelilingiku.
Aku mendekati salah satu santri berjilbab hijau army bernama Alins.
"Ada apa sih mbak, pada lari-lari dan disana, itu kerumunan apa?" Tanyaku dengan wajah polos.
"Mbak Diva gin, mbak Diva!" Jawab Alins dengan wajah pucat berbalut panik.
"Iya, kenapa mbak Diva, ada apa dengannya?" Tanyaku penuh penasaran. Perasaanku mulai tidak enak.
"Mbak Diva meninggal!" Sahut Andin, teman sebelahnya Alins.
"Dia tenggelam dikulah!" Sambung Alins.
"Tidak mungkin!"
"Tidak mungkin!"