Malam ini lorong asrama pada jam 21.00 sudah sangat sepi. Lampu-lampu koridor sudah beralih warna menjadi temaram, suasana mistis mengalir diurat nadiku. Pada hari-hari biasanya, pergantian lampu jam 23.30 WIB. Layang pandangku tertuju pada sepanjang lorong yang sepi itu, tiada segelintir manusia yang kulihat sama sekali. Bahkan, kearah kamar mandipun, tidak ada. Mungkin mereka masih takut akan kejadian tadi siang dan memilih bercakap-cakap dikamar ataupun memejamkan mata.
Setelah ba'da maghrib tadi, ribuan santri mengirimkan tahlil dan doa untuk mbak Diva, mereka masuk kekamar masing-masing. Pengajian sekaligus musyawaroh rutinan santri pada malam ini diliburkan atas berkabungnya pondok pesantren. Adapun seluruh rangkaian pengajian akan kembali aktif lagi mulai besok pagi. Pembacaan tahlil terkhusus untuk mbak Diva akan berlangsung selama satu minggu kedepan, setiap ba'da maghrib. Sungguh bahagianya dia dialam sana, terus dihujani doa-doa dan dialiri kasih sayang oleh orang-orang yang masih hidup.
Aku masih berada didepan asrama sendirian, ya sendirian. Hanya ditemani pekatnya malam dan sepoi angin yang menyapa halus menyibak kerudung yang kupakai. Kupandangi area depan asrama samping tiang tembok, tempat yang biasanya aku gunakan untuk ngangsu kawruh bareng mbak Diva.
"Kamu harus melatih mentalitas tahan banting cah, jaga-jaga kamu kalau lagi sendirian, jangan jadi pecundang! Allah itu dekat sekali."
"Mungkin perjalanan akan berliku, tapi kabut malam akan memelukmu dengan ramah. Mengantarkan kamu kembali hanya kepada Allah dengan butiran tangis. Disitulah, Allah akan mendekapmu dengan Rahmat-Nya."
Pesan-pesan mbak Diva mengendap dibenakku. Lekat dan rekat, begitu rekat. Seperti lem Fox. Padahal biasanya aku sulit untuk merangkum ingatan perihal kata-kata yang agak panjang. Namun, ini kenapa beda?
Itu artinya, tatkala aku berdiri dan jatuh, aku harus berupaya bangun sendiri. Satu pesan juga landas dibenakku orang yang punya cita-cita tinggi, biasanya ujiannya luar biasa sehingga membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Pantas saja kala itu dia menatapku tajam dan lama sekali, pada akhirnya aku merasakan gelembung-gelembung pesan itu tampak seperti wasiat. Dan, betul ternyata, dia pergi selamanya. Otakku memang selalu dangkal memahami banyak hal.