Surat Misterius

Hidayatun Qudsiyah
Chapter #10

Kembali ke Tujuan Semula

Aku melupakan siapapun pengirim surat itu. Aku akan fokus belajar dan menyelami lautan ilmu. Aku harap, surat teror itu adalah surat terakhir yang dilayangkan.

Matahari masuk diperut bumi, aku menuju masjid Khadijah. Masjid agung khusus santri perempuan yang terletak disebelah barat gedung asrama. Bangunannya sangat elegan. Desainnya sangat kekinian, dengan model masjid kearab-araban modern. Saat adzan kang santri dimasjid putra berkumandang, para santri berlomba-lomba menata sajadah untuk mendapatkan shof terdepan. Termasuk aku juga tidak mau tertinggal. Sholat jamaah adalah induk dari segala bentuk riyadhoh. Sholatul jamaah ummur riyadhoh.

Aku duduk diantara Umi dan Ratih. Para santri melalarkan pujian dengan nadhom aqidatul awam dan imrithi. Setelah iqomah berkumandang, para santri sholat berjamaah dengan khusyuk yang diimami oleh pengurus pondok.

Wiridan menjadi salah satu amalan rutin yang wajib dilakukan oleh para santri. Banyak sekali manfaat dari wiridan, salah satunya yaitu menjaga kekukuhan hati untuk senantiasa tertaut pada robb-nya serta memohon ampunan atas segala hal yang dilakukan terlebih kekurangan-kekurangan dalam solat. Apalagi didalam sholat maghrib. Wiridan ponpes Darul Haq ditambah dengan mujahadah-mujahadah khusus kemandirian santri, penjagaan diri dari marabahaya, dan masih banyak lagi.

Inilah santri, keistimewaannya yaitu doa guru-guru yang terus mengucur menjadikan santri memiliki benteng yang senantiasa menjaga dirinya dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Termasuk hal-hal buruk yang hampir saja menerkamku kemarin. Jika aku menuruti nafsuku untuk tetap masuk, mungkin aku binasa. Namun, atas taufiq Allah dan doa guru-guru aku berhasil keluar dari cengkraman itu.

Dalam keadaan wirid serentak, terkadang aku mendengar suara tangis. Konon, itu adalah tangis dari santri-santri gaib yang tertinggal makmum mengiringi imam dalam solat berjamaah. Mereka bersedih. Ya, memang, selain santri dengan jumlah ribuan, ada juga santri yang tidak terlihat yang turut ingin mengaji dan berjamaah.

***

Jam 20.00 WIB, Para santri berbondong-bondong menuju tempat musyawarah masing-masing. Para pengurus siap siaga mengamankan santri yang telat berangkat dengan jurus lasser hijaunya. Sorot cahaya yang terlampau panjang membuat santri-santri terpana terkena tembaknya dan menjadi sasarannya.

Semenjak kepergian mbak Diva, aku selalu duduk dibagian paling depan, meneruskan jejak baiknya. Setidaknya aku dapat mendapatkan informasi terjelas. Aku teringat betul saat awal-awal masuk pondok dan hobi duduk dibagian belakang. Ada beberapa santri gaib yang turut mengaji, mereka tidak akan menganggu. Hanya ikut mengaji saja. Itulah yang dikatakan senior-senior. Aku memang tak pernah melihatnya, namun mbak Diva membenarkannya karena ia memang bisa melihat hal-hal gaib.

Ditengah-tengah mbak Ustadzah membacakan kitab, pulpen Aini terjatuh, tiba-tiba ia melihat pulpen itu bergerak-gerak sendiri. Lalu ia mengadu pada gurunya.

Lihat selengkapnya