Hari kamis sore, jadwal anak-anak santri bermain futsal. Meskipun dikenal sebagai cowok dingin dan tidak suka basa basi. Aku tetap laki-laki yang suka bermain futsal seperti laki-laki pada umumnya. Fares yang kalian kenal tidak sebaik yang dibayangkan, namun tak seburuk yang dipikirkan. Kali ini, sebelum madrasah sore, aku menyempatkan diri membeli cemilan untuk merenggangkan otot pasca tanding futsal nanti.
Disupermarket, tanpa sengaja kulihat Husna atau Gingsul dari kejauhan sedang memilih makanan kering bersama seorang gadis yang tidak kukenal. Aku tidak mungkin mendekatinya, sebagai santri aku harus menjaga marwah kesantrian. Aku melanjutkan belanjaanku. Membeli cemilan ala kadarnya.
Ada rasa ganjil yang menyelimutiku. Dijam 14.00 WIB, santri putri biasanya diharuskan sampai asrama. Karena aturan santri putri lebih ketat dari pada santri putra. Tidak biasanya juga seorang Husna pergi belanja pada jam yang telah melampaui batas. Dia juga tidak punya saudara. Kenapa aku jadi menelusuri lebih dalam. Namun, kuakui aku memang sempat jatuh hati padanya, bahkan sampai saat ini. Namun hanya padanya. Apalagi saat melihat keteguhan serta ketangguhannya yang tak dapat kujelaskan dengan lisan. Bukankah wajar seorang santri memendam perasan kepada seseorang yang dikagumi?
Aku membayar hasil belanjaan dikasir. Tak lama setelah itu, mereka berdua menyusul. Aku segera keluar dari supermarket. Sesaat aku menggantungkan belanjaan dicantelan motor, mereka keluar. Aku diselimuti perasaan tidak enak. Kuikuti jejak mobil mereka perlahan. Mereka turun ditepi jalan raya. Berhenti didepan bangunan setengah jadi yang begitu menyeramkan. Tampak bangunan itu belum terpakai, namun terlihat sudah sangat tidak layak, begitu berdebu. Seorang gadis itu menutup mata Husna dengan kain dan membawanya masuk kedalam ruangan itu perlahan.
Seketika aku sangat terkejut melihat alat gantung bunuh diri yang menggaung diatas. Pikiranku kacau, melayang tak karuan. Tidak lama lagi, kemungkinan besar akan terjadi. Ada kasus percobaan pembunuhan. Sesegera mungkin, aku keluar mencari orang yang melintas didekat bangunan ini. Aku tak akan bisa menolong dalam keadaan sendiri. Apalagi aku seorang santri, bisa-bisa yang terjadi adalah fitnah belaka. Santri harus punya trik cepat dan cerdas mengatasi hal-hal diluar dugaan.
Aku mencari-cari orang yang mempunyai handphone untuk menghubungi pihak yang berwajib. Sedangkan santri sepertiku masih haram membawa handphone. Setelah menemukan orang, aku segera membawanya ke bangunan gelap itu. Memintanya untuk merekam kejadian sebagai barang bukti. Sebelum itu, memintanya melaporkan polisi.
"Bang, nanti tolong semua kejadian ini direkam. Sebagai barang bukti yang nanti bisa kita serahkan kepada pihak yang berwajib."
"Siap mas."
"Sebelum polisi datang, aku akan pergi dari sini karena aku punya kewajiban madrasah. Mohon pengertiannya mas. Anggap saja aku tak pernah ada dalam jeratan kasus ini. Nanti, kalau pelaku tergesa membunuh korban sebelum polisi datang, tolong korban. " Pintaku. Sebenarnya ini hanyalah sebuah alibi agar tidak terjadi fitnah yang melebar luas. Namun aku menyadari. Aku tak lebih dari seorang pengecut.