SURAT RINDU UNTUK PUTRAKU

Nengshuwartii
Chapter #1

PERTEMUAN

Namaku Sri Wahyuni.

Aku adalah seorang ibu dengan dua orang anak: seorang putra bernama Ferdinan Ali, dan seorang putri bernama Oktaviani. Mereka bukan sekadar anak-anakku, merekalah alasan nafasku teratur, alasanku bangun setiap pagi, alasanku bertahan saat hidup seperti ingin meruntuhkan segalanya di sekelilingku.

Merekalah sumber bahagia yang Allah titipkan untukku. Tawa mereka menjadi cahaya, tangis mereka menjadi doa, dan keberadaan mereka menjadi penopang yang tak terlihat namun selalu ada di dalam dada. Kadang mereka membuatku tertawa, kadang membuatku sedih, kesal, kecewa, tetapi dari semua itu, satu hal yang selalu menetap: aku bersyukur.

Bersyukur karena Allah mempercayakan dua jiwa kecil itu kepadaku.

Banyak hal yang ingin kusampaikan kepada mereka. Banyak pesan yang ingin kutitipkan untuk masa depan mereka. Tetapi aku bukan ibu yang pandai mengungkap kata-kata. Aku tak pandai bicara manis, tak terbiasa mengatakan, “Ibu sayang kalian,” meski perasaan itu memenuhi seluruh isi jiwaku setiap hari.

Karena itu aku menulis. Menulis sebagai pesan cinta. Pesan yang mungkin tidak pernah terucap, tapi semoga tersampaikan.

Untuk putraku…

Ferdinan Ali.

Kau tumbuh tanpa banyak waktu bersamaku. Sejak kecil kau lebih banyak bersama nenek dan kakekmu. Ibu harus bekerja, harus menghidupi keluarga, harus mencari rezeki. Ibu ingin selalu berada di rumah, memelukmu setiap kali kau pulang, menyuapimu makan, menemanimu tidur. Tapi kehidupan tidak membiarkanku diam. Hidup memaksaku berlari, bekerja keras, mengumpulkan rupiah demi rupiah agar kalian bisa makan dengan layak, sekolah dengan baik, dan hidup tanpa terlalu banyak kekurangan.

Kadang, ketika malam tiba, ibu duduk sendirian dan bertanya pada diri sendiri:

“Apakah aku sudah menjadi ibu yang baik?”

“Apakah Ferdi merasa ibu meninggalkannya?”

“Apakah Oktaviani merasa kurang mendapatkan kasih sayang?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah berhenti.

Kadang membuat dada terasa sesak.

Kadang membuat air mata turun begitu saja.

Tapi setiap kali ibu pulang, setiap kali melihat Ferdi tersenyum kecil sambil berkata,

“Ibu capek? Istirahat ya, Bu,” seluruh beban itu luruh seketika. Ada kekuatan yang tiba-tiba tumbuh di dalam diri. Kekuatan seorang ibu yang tidak tahu dari mana datangnya, kekuatan untuk terus bertahan, terus bekerja, dan terus mencintai.

Ferdi, putraku…

Kau dibesarkan tanpa banyak manja. Kau tumbuh bersama kesederhanaan rumah nenek dan kakekmu. Kau terbiasa bangun pagi, terbiasa membantu, terbiasa memahami keadaan tanpa diminta. Kau tidak banyak bicara, tidak banyak menuntut. Sikapmu lembut, sopan, tutur katamu selalu membuat nenek bangga.

Kau anak yang penurut. Walau kadang ya, kau masih anak-anak, masih ada malasnya, masih ada bandelnya, masih ada wajah manyunmu ketika diminta melakukan sesuatu. Tapi justru itu yang membuatmu manusia. Itu yang membuatmu seperti anak-anak lain. Dan ibu bersyukur karenanya.

Yang paling ibu ingat adalah saat kau masih kecil, ketika kau membantu nenek dan kakek berjualan di depan toko orang. Kau mengayuh sepeda kecilmu sambil membawa keranjang berisi gorengan, lontong sayur, dan nasi. Kau membantu menggelar meja, kursi, dan terpal agar pembeli bisa duduk dengan nyaman.

Kau tidak pernah malu.

Tidak pernah mengeluh.

Tidak pernah bertanya kenapa hidupmu tidak seperti teman-temanmu.

Hujan turun, dagangan basah.

Panas menyengat, keringatmu menetes.

Kadang tak ada pembeli sama sekali.

Lihat selengkapnya