Kehidupan ibu memang tidak pernah benar‐benar sempurna seperti keluarga lain yang terlihat mapan, berkecukupan, dan selalu tampak baik-baik saja di mata dunia. Rumah kita tak pernah penuh harta, tapi hatiku penuh oleh kalian. Dan kebahagiaan itu… tidak pernah bisa ditukar dengan emas, uang, ataupun kemewahan apa pun.
Sejak kalian kecil, ibu selalu merasa bahwa Allah menggantikan kekurangan materi dengan menguatkan hati ibu. Dengan memberikan kalian sebagai alasan aku bertahan, bangkit, dan terus berjalan meski hidup selalu terasa berat.
Dari dua anak ibu, salah satunya adalah kamu, putra ibu, Ferdinan Ali.
Dari kecil kamu tumbuh menjadi anak yang berbakti. Bahkan pada masa ketika seorang anak seharusnya bermain, berlari, dan merasa bebas… kamu sibuk mengerti keadaan.
Setiap sore, ketika suara ibumu tak terdengar di rumah, suara neneklah yang memanggilmu.
“Fer… ayo jualan!”
Suara itu memecah udara sore ketika kamu masih asyik bermain bola bersama teman-temanmu. Dan kamu, dengan napas terengah dan dahi penuh keringat, hanya menjawab singkat:
“Geh, Mbah.”
Tidak pernah ada bantahan.
Tidak pernah ada keluhan.
Kamu tinggalkan bolamu dan beralih menjadi bocah penjual gorengan yang duduk di depan toko orang.
Saat nenek meminta hal lain pun kamu selalu siap.
“Fer… beli minyak goreng dulu ya, Nak. Buat goreng.”
Meskipun kamu sedang tertawa-tawa dengan temanmu, kamu tetap menoleh, lalu mengangguk kecil.
“Geh, Mbah…”
Nenek memintamu belanja ke pasar, kamu pergi.
Membeli cabe, membeli bumbu, membeli sayuran sendirian, di usia ketika anak lain bahkan masih takut menyeberang jalan.
Tapi kamu…
Kamu tidak malu, kamu tidak mengeluh.
Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu benar: membantu orang tua.
Dan itu, Nak… membuat ibu begitu bersyukur.
Ibu memang tidak pernah hadir ketika kamu belajar.
Ibu tidak pernah duduk di sebelahmu saat kamu mengerjakan PR matematika yang sulit, atau ketika kamu gugup menghadapi ujian.
Tapi kamu membuktikan pada ibu bahwa kamu mampu.
Nilaimu selalu bagus.
Kamu diterima di sekolah favorit.
Dan kamu tidak pernah membiarkan ibu merasa khawatir.
Ibu masih ingat, dulu ketika ibu hendak pergi bekerja ke kota, meninggalkan kamu di rumah nenek—tidak ada air mata darimu.
Kamu hanya berdiri, memegang baju ibu, lalu berkata pelan:
“Ibu hati-hati ya. Fer tunggu ibu pulang.”
Tidak ada tangis.
Tidak ada rengekan.
Hanya kalimat sederhana yang membuat hati ibu terasa pecah sekaligus bangga.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil bisa sekuat itu?
Waktu berlalu, kamu tumbuh menjadi remaja.
Masuk SMP sendiri.
Masuk SMA sendiri.
Tidak diantar siapa pun.
Tidak ditemani siapa pun.
Terkadang ibu merasa bersalah.
Terkadang ibu ingin menangis.