Sore itu awan kelabu menggantung di langit,membentuk tirai tebal yang menghalangi sinar matahari. Warna abu-abu yang hampir hitam memenuhi cakrawala,menandakan hujan deras akan turun.
Angin bertiup kencang,membawa gemuruh petir yang menggelegar di kejauhan. Udara terasa berat dan lembab,menambah kesan bahwa badai akan melanda.
Hutan pinus di belakang sana nampak mengerikan di bawah langit gelap,pepohonan yang menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang meliuk-liuk seperti tangan-tangan rapuh yang hendak menggapai sesuatu. Angin bertiup kencang,menyebabkan pepohonan bergoyang dengan desiran daun yang mengerikan memenuhi udara.
Jalan setapak yang sempit membelah hutan,menawarkan jalur yang tidak pasti melewati kegelapan pekat. Awan hitam menggantung rendah,mengancam akan menurunkan hujan kapan saja menambah kesan suram dan menakutkan pada hutan yang gelap itu.
"Nah,sepertinya hari ini kamu tidak akan pergi ke bukit." Mia yang baru datang membawa beberapa butir telur ayam dalam keranjang,menatapnya dengan raut amused concern. Antara senang Sehada tidak kemana-mana,tapi juga khawatir gadis itu memaksakan diri akan menerobos hujan.
"Mungkin hari ini kau di takdirkan untuk tetap di rumah. Ayo masuk,sebelum hujan menampar mu di pintu rapuh ini."
Sehada menerima bakul telur dari Mia dan membawanya masuk ke dalam rumah. Ia duduk di meja makan,sementara di luar,gemericik air mulai terdengar,semakin lama semakin deras. Hari ini dia melewatkan satu lukisan alam yang tak ingin terlihat.
"Apa ayah akan pulang nanti malam?" Tanya Sehada khawatir mengingat ayahnya masih di luar kota. Bagaimana jika pria itu terhalang banjir? Longsor? Atau pengemudinya kelelahan? Mereka kehujanan dan ayahnya akan sakit? Atau yang lebih Sehada takutkan adalah jika ayahnya tidak kembali.
"Ku rasa mungkin dia akan menginap di rumah pama Pablo. Biasanya begitu 'kan,kalau badai datang?." Kalimat Mia sukses membuat semua fikiran buruk Sehada tentang ayahnya menguap.
Gadis itu mengangguk mengerti,"aku hanya takut membuatnya merasa terpaksa karena permintaan ku."
Mia menghela nafas,berhenti sejenak dari aktivitasnya membuat masakan untuk makan malam. Ia menoleh ke arah putrinya dengan kepala sedikit miring. "Dengar Sehada. Kamu adalah putri kami satu-satunya. Dia mencintaimu lebih dari cintanya pada ku. Kalau kau terus-menerus merasa begitu,menurutlah dengan apa yang dia selalu katakan. Maka itu akan membuatnya merasa senang dan di hargai."
Dia tersenyum lembut mendengar nasihat ibunya,mata yang bulat berbinar itu menunjukkan rasa hormat. Dengan senyum yang masih terukir,Sehada beranjak dari duduknya kemudian memeluk Mia,sementara wanita yang usianya sudah hampir kepala lima itu kembali mengiris sayuran yang belum tuntas.
"Aku harap kamu akan menikah dengan pria kaya yang tidak akan pernah membuat hidupmu susah seperti aku,Sehada."
"Tapi ayah adalah suami yang baik."