Surat - surat tak Berbalas

fitriyanti
Chapter #1

Surat

Mendung masih menyelimuti kota. Menutup cahaya mentari yang tampak murung sejak tadi pagi. Meski begitu kota masih tampak ramai dengan hiruk pikuk kehidupan manusia.

Perlahan kubuka mataku. Yang pertama kali kurasa adalah rasa sakit yang begitu teramat. Saat kubuka mataku dengan sempurna aku melihat diriku sudah terbaring di sebuah kasur putih dengan selang infus yang sudah terpasang di pergelangan tanganku. Ruangan kamar ini memang sangat bagus karena ini merupakan ruang kamar inap VIP disebuah rumah sakit ternama di kota ini. Namun, kemewahan ini tidak dapat mengobati setiap rasa sakit yang aku rasakan. Sakit yang silih berganti yang kini datang menderaku dua tahun belakangan ini. Dua tahun ini aku sudah 2 kali di operasi karena usus buntu dan juga kista. Ya Allah, aku masih berusaha kuat saat itu terjadi. Tetapi kini, aku kembali berada di rumah sakit dengan rasa sakit yang begitu kuat tetap pada bagian yang dioperasi dua kali itu. Perut. Ya Allah, Dosa apa yang sudah hamba lakukan hingga hamba sampai seperti ini? Ampuni hamba ya Allah. Kuatkan hamba. Kemewahan ini juga tidak mampu mengobati sakit batinku yang selama 15 tahun ini aku rasakan. Rasa sakit yang tak seorang wanita pun ingin merasakannya. Kesepian.

Aku lihat sekelilingku. Seperti biasa. Sepi. Aku sendiri. Ya tuhan, bahkan pada saat terbaring lemah seperti ini aku tetap sendiri. Apakah aku memang tidak layak untuk ditemani? Rasanya airmataku sudah kering untuk menangis. Sudah terlalu lama aku menangis.

Ingatanku beralih akan kejadian tadi malam yang akhirnya membuatku harus berada di rumah sakit ini. Tepat jam 1 malam aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku. Aku pun merasa demam yang sangat tinggi. Tetapi mau kemana aku minta tolong? Aku tinggal dirumah yang besar seorang diri. Ya seorang diri. Saat sakit itu benar-benar menyerangku aku hanya bisa pasrah dan berdoa semoga aku masih bisa melihat dunia ini esok pagi. Aku mencari handphone dan menelfon keponakanku yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku namun sayang tidak ada jawaban. Hingga akhirnya aku menghubungi tetanggaku dan untung saja dia menjawabku dan akhirnya membawaku yang dalam keadaan pingsan kerumah sakit ini. 

Kulihat jam yang terpasang manis di dinding kamar rumah sakit ini sudah menunjukan jam 1 siang. Berapa lama aku tak sadarkan diri? Dan selama inipun apa tidak ada keluargaku yang datang menjengukku? oh malang sekali nasibku.

Dua orang Perawat rumah sakit masuk dengan senyuman manisnya. Mereka menyapaku dengan sangat ramah dan mulai memeriksa keadaanku.

“Maaf ibu, apa ada pihak keluarga yang bisa menemui dokter? Dokter ingin bicara perihal kesehatan ibu.” Tanya salah seorang perawat itu.

Aku terdiam. Sekalipun ada, tidak mungkin. Mereka tidak akan bisa memutuskan apapun. Semua keputusan tetap ada padaku. Karena ini masalah kesehatanku, aku yang bertanggung jawab sendiri, aku yang membayar biaya rumah sakit ini sendiri. Ini buan pertama kalinya aku dirawat dirumah sakit dan setiap kali aku dirawat dirumah sakit selalu saja aku yang memutuskan semua dan seorang diri.

 “Tidak ada sus, Saya belum menikah dan orangtua saya sudah meninggal sementara saudara-saudara saya tidak mungkin dapat memutuskan apa-apa, semua keputusan ada pada saya sendiri nantinya. Biar saya saja yang menemui dokter.”

“Baiklah bu Ayu. Sebentar lagi dokter akan datang menemui ibu. Sekarang ibu silahkan menikmati makan siangnya dan jangan lupa minum obatnya dan beristirahat ya bu. Kami permisi dulu dan jika ada sesuatu yang ibu butuhkan silahkan panggil kami.”

Aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih. Airmataku langsung menetes saat suster-suster itu pergi meninggalkanku. Entah apa yang membuatku begitu merasa lemah dan tak berarti seperti ini. Bahkan aku tak merasakan lapar untuk menikmati makan siangku dan obat dari suster itupun tak kusentuh. Saat ini aku hanya ingin menangis. keluarga? Dimanakah kalian? Aku tahu semua saudaraku sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Aku pun tidak bisa menyalahkan mereka walaupun hati kecilku sangat teriris-iris. Aku jadi sangat rindu pada ibu yang meninggal setahun yang lalu. Aku sangat-sangat rindu. Ibu yang selalu ada untukku. Kini aku sendiri. Lamunanku mengingat semua kenangan saat-saat masih hidup berdua dengan ibu. Sejak ditinggal ayah meninggal 14 tahun yang lalu aku dan ibu hanya hidup berdua saja meski aku 8 orang bersaudara dan aku anak ke 6. Lama aku menangisi kisah hidupku hingga kurasakan sakit yang begitu kuat pada bagian perutku. Aku tak tahu Sakit apa lagi yang sekarang sedang aku derita. Tiba-tiba semua menjadi gelap.

***

Pekanbaru, 1995

Aku berdiri dengan bangga di hadapan semua majelis guru dan staff yayasan tempat aku mengajar sebagai guru SD. Hari ini ketua yayasan mengangkat jabatanku sebagai kepala sekolah. Dengan busana seragam guru berwarna biru muda dipadu dengan hijab berwarna biru muda pula membuatku semakin percaya diri berdiri di hadapan semuanya. Betapa bahagianya aku dan kerja keras yang selama ini aku lakukan berbuah hasil dengan prestasi ini. Aku yakin ibu dan ayah juga pasti sangat senang sekali. Mereka pasti bangga akan semua prestasi yang selama ini aku banggakan. Baru dua bulan yang lalu aku di wisuda Sarjana dan sekarang aku sudah menjadi kepala sekolah di Yayasan yang sangat ternama di kota ini apalagi aku masih sangat muda. Usiaku masih 23 tahun.

Usai penobatanku sebagai kepala sekolah akupun segera memasuki ruangan baruku sebagai pemimpin di sekolah dasar islam yang bernama Al-Fitrah ini. Tak henti aku mengucapkan syukur pada Allah atas semua nikmat ini. Untuk pertama kalinya aku duduk di kursi sang pemimpin. Tetapi aku sadar ini baru awal. Kelak aku harus bisa memimpin sekolah ini dengan baik agar mereka tidak kecewa telah memilihku.

“Assalammualaikum bu, apa saya mengganggu?” Suara dari Fikar petugas kesehatan sekolah kami.

“Waalaikumsalam, Masyaallah Fikar, tentu saja tidak. Kamu panggil saya ibu? Saya merasa tidak nyaman karena kita sudah biasa panggil nama satu sama lain.”

“Ya memang harusnya begitu bu. Kan sekarang ibu seorang kepala sekolah di sekolah ini. Rasanya tidak pantas saja jika saya panggil nama saja sama ibu.”

Aku tertawa pelan.

Lihat selengkapnya