Aku segera terbangun dari tidurku ketika azan magrib berkumandang. Ternyata selesai menulis surat tadi aku tertidur. Saat bangun Badan ku terasa sangat sakit dan aku merasakan sedikit panas pada tubuhku. Aku tahu mungkin ini karena aku terlalu kelelahan dan terlalu sibu mengurus pekerjaanku. Walau badanku terasa sakit aku tetap berusaha untuk bangkit menunaikan tiga rakaat wajibku. Sholat magrib.
Keesokan paginya. Aku berangkat ke sekolah seperti biasa walau dengan kondisi badan yang kurang fit. Sebenarnya tadi ibu sudah melarang aku bekerja hari ini tetapi aku tak mau. Karena hari ini hari pertama aku menjadi kepala sekolah dan aku tak mau mengecewakan semuanya. Sesampainya di sekolah aku mulai merasakan mual dan pusing. Dan saat sadar aku mendapati diriku sudah didalam kamarku. Ternyata di sekolah tadi aku pingsan dan Fikar serta seorang guru sekolah mengantarkanku pulang dengan ambulans sekolah.
***
Aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan tubuhku. Sudah seminggu aku sakit dan semakin hari semakin parah. Dua hari yang lalu timbul bisul-bisul merah di sekujur tubuhku yang membuat tubuhku terasa gatal dan panas. Dokter yang memeriksa ku belum tahu pasti apa penyakitku ini. namun aku tidak mau berfikiran buruk dan selalu berfikir positif bahwa penyakit ini buan penyakit yang parah. Ini hanya sakit biasa dan beberapa hari lagi aku akan sembuh dan bisa kembali bekerja karena sudah seminggu pula aku izin tidak masuk kerja.
Tetapi keyakinanku mulai goyah. Sudah satu bulan lebih aku menderita penyakit yang aneh ini. Bisul-bisul merah yang dulu tumbuh kini telah berubah menjadi kudis-kudis yang menggerogoti hampir seluruh tubuhku. Ayah dan ibu serta abang dan kakakku telah berusaha membawaku berobat ke berbagai tempat namun hasilnya tidak ada yang memungkinkan. Dokter juga bingung dengan penyakit yang kini melandaku. Seluruh orang kini berduka untukku. Buan hanya keluargaku tetapi juga seluruh warga yayasan sekolah tempat aku bekerja. Aku hanya bisa terbaring di tempat tidur selama satu bulan ini. Bahkan untuk berbicara pun aku sangat kesulitan karena kudis-kudis itu juga menempel diwajahku. Ya Allah, dosa apa yang sudah hamba lakukan hingga hamba seperti ini? ampuni hamba ya Allah. Doaku selalu didalam hati.
Aku berusaha sabar dan tidak mau putus asa. Aku yakin aku bisa sembuh. Ini hanya ujian dari Allah. Walau sebenarnya didalam hati aku menyadari bahwa keluargaku sendiri pun sudah putus asa mereka tidak yakin aku akan sembuh karena setiap hari sakitku semakin parah.
Satu hal yang sangat kurindukan. Surat dari bang Sofian. Sejak terakhir kali ia mengirim surat sebulan yang lalu hingga sekarang surat darinya tak pernah datang, biasanya setiap 2 atau 3 minggu sekali ia selalu mengirim surat. Mengapa semuanya bisa seperti ini? Padahal jika aku tidak sakit mungkin saja saat ini aku sudah menikah dengan bang Sofian namun jangankan bang Sofian dan keluarganya yang datang sepucuk suratpun tak pernah lagi datang.
Ya Allah, Pantaskah aku memikirkan itu semua ditengah kondisiku yang seperti ini? disaat semuanya ragu apakah aku bisa sembuh dan selamat atau malah sebaliknya dan meninggal. Airmataku kembali mengalir memikirkan semua ini.
Aku teringat pada Fikar. Aku dengar dari guru-guru bahwa ia sudah di jerman. Sebelum berangkat ia sempat datang kerumah namun tidak bertemu denganku karena saat itu aku sedang di rumah sakit di luar kota. Ia hanya bertemu adik perempuanku dan ia menitipkan salam padaku dan setangkai bunga mawar merah lengkap dengan surat tanda persahabatan kami. Di surat itu dia bilang bahwa ia mungkin akan rindu denganku dan ia berharap agar aku cepat sembuh.
“Ya Sudahlah ayu. Ibu Cuma berharap agar saat ini kamu jangan memikirkan yang lain dulu. Yang penting sekarang kamu sembuh. Kalau memang Sofian itu jodoh kamu ya bagaimana pun juga kalian akan bersatu. Tolong kamu juga fikrikan perasaan ayah sama ibu juga saudara-saudara kamu yang sekarang sangat khawatir sama kamu. Jangan hanya memikirkan Sofian dan pernikahan,” ungkap ibu saat aku terus bertanya apakah ada surat dari bang Sofian.
Aku terdiam. Mataku berkaca-kaca. Rasanya sesak sekali.
“Kamu harus sembuh nak. Jangan bebani fikiran kamu dengan yang lain karena itu akan menghambat kesembuhan kamu. Ibu sedih melihat kamu terbaring seperti ini terus,” Ciuman ibu mendarat di keningku sebelum ibu pergi keluar kamarku.
Memasuki bulan ketiga. Perlahan penyakitku mulai sembuh. Kudis-kudis yang menyerang tubuhku perlahan mulai hilang dan kini aku sudah bisa duduk bahkan berjalan pelan-pelan. Makan pun aku sudah tidak perlu disuapi dan bisa buang air kecil dan besar dikamar mandi tidak perlu lagi di tempat tidur dengan bantuan alat. Aku sangat bersyukur dan seluruh orang hampir tidak percaya aku sembuh mengingat penyakitku ini sudah sangat parah tetapi beginilah kuasa Allah. Inilah jalanku. Aku sembuh.
Saat aku merasakan kondisiku sudah benar-benar pulih aku mulai kembali masuk bekerja walau bekas-bekas kudis itu masih ada diwajah dan tubuhku namun itu tidak masalah karena nanti dengan pengobatan dari dokter kulit itu semua insyaallah akan hilang. Posisi jabatan kepala sekolah masih aku pegang karena ketua yayasan yakin aku akan sembuh hingga selama lebih 3 bulan aku sakit ia tak mencari penggantiku dan hanya memerintah wakil kepala sekolah menanggung tugas ku sementara aku sakit.
Perlahan semua kembali normal seperti semula. Kondisiku pun semakin membaik. Walau hingga saat ini aku tidak tahu apa penyakit yang pernah melandaku itu. aku dan keluarga hanya menyimpulkan itu mungkin sebuah teguran dari Allah agar aku lebih mendekatkan diri padaNYA dan mungkin semua itu ada hikmahnya. Semua memang kembali normal tetapi tidak dengan hati dan perasaanku karena surat dari bang Sofian yang sangat kunantikan tak kunjung datang. Aku mulai merasa kehilangan arah. Aku bingung mengapa sudah lebih dari 3 bulan surat dari bang Sofian tak pernah datang. Ada apa dengannya. Bahkan surat yang kukirim seminggu yang lalu pun hingga kini belum ada balasannya. Terkadang aku menyesali mengapa saat ini jalur komunikasi dengannya hanya bisa melalui surat. Aku memang memiliki telfon rumah tetapi rumah bang Sofian di kampung tidak memilikinya hingga aku tak bisa menghubunginya.
“Bu, Kenapa bang Sofian tidak pernah mengirimkan surat padaku? Bahkan surat yang ayu kirim seminggu yang lalu pun hingga kini tidak ada balasan. Ada apa ya bu?”
Ibu menarik nafas dalam.
“Kamu masih mengharapkan dia yu? Menurut ibu mungkin saja dia berubah fikiran. Mungkin dia merasa minder sama kamu karena sekarang kamu itu jauh lebih sukses dari dia. Kamu sekarang kepala sekolah di sekolah ternama sementara dia hanya pedagang pakaian biasa.”
“Tidak mungkin bu. Bang Sofian buan orang yang seperti itu. ia tak mungkin sampai berfikiran begitu.”
“Lebih baik kamu coba cari yang lain. Mungkin dia memang buan jodohmu.”
“Ibu kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?” Darahku langsung berdesir kencang mendengar ucapan ibu yang tak seperti biasanya.
“Ibu hanya tidak ingin kamu terluka. Itu saja,” jawab ibu santai sambil berlalu meninggalkanku yang terpaku di kursi ruang tamu.
Airmataku langsung mengalir. Apa benar yang ibu katakan kalau bang Sofian merasa tidak layak untukku? Karena sejak aku memberitahukan padanya posisiku sebagai kepala sekolah sejak itu pula ia tak pernah lagi mengirimkan ku surat. Aku benar-benar bingung. Bagaikan perahu kertas lusuh yang terombang-ambing di terjang ombak lautan. Kini aku tak tahu apa harus bahagia dengan posisi ku sebagai kepala sekolah saat ini.
***
Hari ini hari minggu. Tepatnya minggu yang akan sangat melelahkan karena aku memiliki banyak sekali pekerjaan sekolah yang harus ku kerjakan dirumah. Akhir-akhir ini banyak sekali kegiatan di sekolah yang akhirnya memaksaku untuk bekerja sedikit lebih extra. Untuk sementara aku bisa melupakan masalah ku tentang bang Sofian.
“Ayah, Ayu pinjam mesin tik ayah ya, mesin tik ayu pitanya sudah jelek,” Pintaku pada ayah yang pagi ini sedang asyik menikmati sarapan paginya bersama ibu dan dua orang adikku yang masih lajang. Karena memang hanya tinggal kami bertiga yang masih belum menikah.