Hari-hari berganti hari. Semuanya berjalan kembali normal. Aku tetap dengan posisiku sebagai kepala sekolah. Perang dinginku dengan keluargaku pun berangsur membaik dan hangat seperti dulu. Aku fikir tak ada gunanya aku mendiamkan diri dari mereka. Aku tahu mereka melakukan ini untuk maksud yang baik dan Aku tak bisa juga menyalahkan mereka. Satu yang tidak berjalan normal hingga saat ini yaitu hatiku.
Sejak kejadian itu ayah dan ibu mulai mencarikan jodoh untukku. Silih berganti pemuda pilihan orangtuaku datang padaku namun semuanya ku tolak. Hatiku bukannya sawah yang apabila padi yang pertama sudah selesai panen maka dapat diganti dengan bibit padi yang baru. Tidak segampang itu menghapus nama Sofian. Sejak mengenalnya ku tak pernah membuka hatiku untuk lelaki lain.
Sudah satu tahun berlalu. Dan aku masih dalam kepiluan hatiku. Terlalu sulit melupakannya. Hampir tiap malam aku menangis. Aku tahu ini gila. Aku menangisi suami wanita lain. Tetapi inilah faktanya. Aku bagai sudah terpenjara dalam cintanya.
Hingga akhirnya ayahku meninggal dunia. Aku sangat terpukul sekali karena sampai saat ini pun aku belum bisa membua hatiku untuk lelaki lain. Bahkan di detik-detik akhir nafasnya ia sempat berkata padaku.
“Ayah Cuma ingin anak kesayangan ayah kembali normal dan sadar. Itu saja cukup.”
Aku sangat paham bahwa ayah kecewa padaku yang masih mengharapkan Sofian yang kini telah menjadi suami orang. Namun aku tak bisa berbuat apapun. Aku hanya manusia biasa. Aku tahu ini salah. Namun hatiku tak bisa melupakannya. Andainya aku bisa.
Usai meninggalnya ayah, aku berdebat dengan para saudaraku tertutama kakak dan abang-abangku. Mereka semua memang tak secara langsung meyalahkan ku atas kematian ayah namun dari cara mereka berbicara aku tahu mereka menyalahkanku.
“Ayah pergi dengan kekecewaan dihati yang sangat dalam karena anak kesayangannya masih memikirkan pria yang bukan jodohnya,” ujar bang ipul, abangku satu-satunya pada saat kami berkumpul dirumah ibu tepat seminggu sejak kepergian ayah.