Pekanbaru, 2005
Dua belas tahun sudah berlalu dan semua sudah sangat berubah. Ibu yang kini sudah sangat tua bahkan tidak bisa melakukan banyak hal karena sekarang ibu sudah mulai lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi roda. Keponakanku yang semakin banyak dan mulai beranjak dewasa bahkan Fani anak pertama kak sarah bulan depan akan menikah setalah wisuda sarjananya. Dan aku yang sudah menyelesaikan program S3 ku dengan predikat yang sangat memuaskan dan kini aku bukan kepala sekolah lagi di Yayasan Al-fitrah tetapi aku sudah menjadi wakil ketua yayasan.
Semuanya benar-benar sudah berubah. Hanya ada satu yang tetap sama yaitu Aku dengan kesendirianku tanpa ada tanda-tanda akan memiliki pendamping. Aku tahu aku sudah tidak muda lagi seperti lima belas tahun yang lalu. Kini usiaku memasuki kepala Empat. 40 tahun. Untuk wanita aku sudah bisa dikatakan perawan tua. Namun, aku tak masalah dengan sebutan itu. Kupingku sudah kebal. Hatiku sudah tahan. Usaha perjodohan untukku pun masih terus berlangsung namun semuanya nihil.
Aku menatap wajahku dicermin. Tak banyak yang berubah. Tetap mirip seperti artis cut mini seperti yang sering orang katakan. Hidungku tetap mancung. Mataku masih jelas melihat dan kulitku masih kencang walau kini sudah mulai tampak goresan-goresan halus dipelupuk mata. Aku segera memalingkan wajahku ke sebuah koper berukuran sedang yang terletak di atas kasurku. Semua sudah siap. Aku sudah selesai packing. Siang ini aku dan beberapa saudaraku akan terbang ke jakarta karena suami kakakku imah meninggal dunia. Sejak kematian ayah, kak imah dan suaminya pindah ke Jakarta karena suaminya membuka usaha restoran padang di ibukota negara tersebut.
Sebuah pesawat terbang membawaku dan beberapa saudaraku ke kota Jakarta. Aku duduk di tepi jendela pesawat tepat di sebelah kak sarah. Dibelakang kami ada bang ipul dan istrinya, di depanku ada malik dan bang wawan. Memang tak semuanya berangkat karena alasan dana dan juga harus ada yang menjaga ibu di rumah yang seorang diri. Untung ada Dila yang bisa menjaga ibu selama aku pergi.
Pesawat kami sudah mendarat di bandara soekarno hatta, Jakarta. Tepat jam 2 siang. Dan beberapa waktu kemudian kami sudah sampai dirumah duka. Rumah kak imah sangat ramai oleh para pelayat. Jujur, karena kesibukanku aku baru pertama kali datang ke Jakarta dan berkunjung kerumah kak imah dan aku senang mengetahui ia memiliki rumah yang bagus dan cukup besar untuk ia dan 3 orang anaknya. Saat sampai didepan pintu kami melihat kak imah dan 3 orang anak perempuannya menangis di hadapan jenazah suaminya dan tanpa fikir panjang kami langsung menghampiri dan memeluk mereka. Kami berusaha menghibur dan memberi support agar mereka sabar. Kak imah tak banyak bicara ia hanya menangis lirih. Aku sangat sedih melihatnya dan tiga anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu. tetapi inilah takdir. Semua yang sehat akan sakit. Semua yang hidup pasti mati. Tetapi apakah semua yang lajang pasti akan menikah? Fikiranku mulai terganggu lagi.
Usai pemakaman sore itu kami berkumpul di ruang tamu rumah kak imah. Para pelayat sudah pada pulang. Saudara-saudara almarhum suami kakakku pun sudah banyak yang pulang. Tinggallah kami yang berusaha menghibur kak imah. Saat sedang asyik bercengkrama tiba-tiba ada yang mengucapkan salam dan berdiri dengan tegap didepan pintu. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat.
Pria itu berdiri dengan gagah dan sangat tampan. Kacamatanya bertengger manis disanggah oleh hidung mancungnya. Aku sangat mengenalnya. Sangat-sangat kenal. 12 tahun yang lalu. Mana mungkin aku bisa lupakan dia. Pria itu juga termenung menatapku. Apakah rasaku sama dengan rasanya saat ini? Ia terlihat gugup saat dua bola mataku menatapnya. Dengan pelan ia berjalan mendekati kami. Aku segera memalingkan pandanganku darinya dan berusaha tidak melihatnya.
“Maaf kak imah, saya baru bisa datang sekarang. Saya turut berduka cita atas kepulangan bang Imam kak. Saya baru tiba dari kalimantan. Tadi istri saya baru kasih tahu kalau bang imam meninggal dan istri saya juga minta maaf karena tidak bisa datang melayat karena si kecil masih demam jadi ia harus merawatnya dirumah.” ujar lelaki itu pada kak imah.
“Terimakasih Sofian,” jawab kak imah lirih sambil menatapku.
Ya, laki-laki itu adalah Sofian. Calon suamiku yang menikah dengan wanita lain. Sofian yang memang sudah kenal dengan saudara-saudaraku saat masih sama-sama tinggal dikampung dulu.
“Kalian masih ingatkan dengan Sofian?” ujar kak imah pelan sambil menatap pada kami dan pandangannya terhenti padaku yang berusaha bersikap wajar dengan menatap pada luar pintu.
“Apa kabar semuanya? Senang sekali bisa bertemu dengan kalian lagi. Sudah lama sekali rasanya kita tidak berjumpa.” sambung Sofian yang menatap lama padaku yang semakin membuatku merasa serba salah.
Seluruh saudaraku sangat mengerti situasi saat ini. Mereka tahu betul siapa Sofian. Mungkin dalam fikiran mereka inilah lelaki yang sudah membuat adik perempuannya tidak menikah hingga saat ini.
“Kebetulan seminggu yang lalu tanpa sengaja kami bertemu di rumah sakit waktu bang imron masih dirawat dan anak Sofian yang sakit juga dirawat dirumah sakit itu. Ternyata Sofian juga sudah lama menetap di jakarta tetapi baru seminggu yang lalu kami saling tahu. Kalian ingat santi? dia semakin cantik.” lanjut kak imah. Aku tahu kak Imah hanya mencoba untuk basa-basi kepada Sofian.
Walau aku berusaha menahan mataku untuk tidak menatapnya tetapi aku tahu betul saat ini ia tengah menatapku. Lekat-lekat.
“Papiiii ...” teriak seorang anak perempuan kecil berusia sekitar 10 tahun. Ia berlari kearah Sofian dan memegang tangan kanan Sofian. Gadis itu sangat manis. Ia menatapku dengan penuh senyuman.
“Fika bosan di mobil, pi. Jadi Fika turun saja.”
“Ini anak sulungku. Namanya Fika. Fika ayo salam sama om dan tante semua. Semua om dan tante ini sudah seperti saudara papi. Ayo nak,” suruh Sofian pada putrinya yang kemudian menyalami kami satu-persatu.
Apa? Tadi dia bilang apa? Seperti saudara? Jadi sekarang dia menganggapku seperti saudara? Lalu aku harus menganggapnya seperti apa? Saudarakah? Atau calon suami yang gagal menikahiku dan membuatku tetap sendirian di usiaku yang sudah -tidak muda- lagi karena hatiku yang selalu saja dipenuhi oleh namanya.
“Asthafirullah al-azim. Ya Allah, mengapa aku sampai seperti ini? Hapus ... hapus nama dia di hatiku Ya Allah ... Bukankah Harusnya setiap hati dan fikiranku diisi oleh namaMU Ya Allah. Aku lemah. Aku hina,” Gumamku dalam hati.
Saat Sofian dan saudara-saudaraku asik berbincang-bincang. Sementara aku menghilang tanpa disadari keluargaku. Aku berdiri dihalaman rumah kak imah yang cukup besar ditemani berbagai macam tumbuhan bunga dan lampu taman yang sangat indah. Langit hitam ditaburi bintang-bintang yang tak ku mengerti sedang membentuk rasi bintang apa malam ini. aku tatap langit dengan tatapan kosong.