Matanya sibuk memindai huruf 'g' di kamus tebal terbitan pemerintah yang baru-baru ini ia beli khusus di toko daring demi menemukan esensi makna satu kata itu. Kata yang mengusik nuraninya. gun.dik. Ia mengejanya pelan-pelan.
Di sudut kiri halaman matanya tertumpu. Kata itu. Ada di sana. Ia menarik napas, mencerna maknanya sampai terserap aliran darah. Menahun ia kubur cinta yang terkatung-katung, menjalani hidupnya baik-baik saja, namun sekejap pesan singkat meledakkan segala. "Sofia, aku nggak bahagia..."
Titik-titik di ujung kalimatnya terasa sangat subtil. Ada sesuatu yang barangkali sulit diucap. Ia ingat bahwa mereka pernah berjanji akan menjadi sahabat, jika variabel itu yang mengambil takdir.
"Bisa jadi aku akan menikah dengannya, bisa jadi tidak. Bisa jadi aku akan menikah denganmu, bisa jadi tidak." Lelaki itu mengucapkannya sembari tersenyum. Dan Sofia kegirangan dengan kalimat terakhir karena ada 'mu' di situ, yang seolah menjanjikan masa depan. Dalam angannya, ia coret kalimat mubazir dengan spidol raksasa milik Dora. Betapa menyenangkan hanya dengan membayangkan, apalagi betulan.
Pesan singkat itu mencipta tegun kemudian bimbang. Ia tahu bahwa dirinya bukan perempuan yang bisa menahan diam di udara. Tapi bila dijawab, bisa jadi ia mengusik perjanjian kuat antara lelaki itu dengan tuhannya. "Ini penting, aku tak bisa diam saja," hatinya membisik. "Jika janji itu kuat, sebaris kalimatku ini tidak akan ada efeknya." Jarinya mulai mengetik.
Jangan kotori janji sucimu denganNya. Ia tergelak mendengar kata bijak yang berbunyi lirih dari dalam nurani. Janjiku dan janjimu itu omong kosong.
Ia hapus kalimat kedua. Akhirnya, sebaris kalimat ia tempel:
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Mitsaqan Ghalizha).” [Q.S. an-Nisaa' 4:21].
“Renungkan ayat ini baik-baik. Jangan hubungi aku lagi.”
Tak sampai hitungan menit ia mendapat balasan,
"Inilah kenapa kamu itu istimewa..."
Lagi-lagi, kalimat itu berakhir dengan titik-titik yang menggantung.
Terbayang di kepalanya wajah layu lelaki yang begitu ia damba itu menatap layar hape puluhan menit menanti balas. Masih lebih baik dibanding dirinya yang menunggu seumur hidup, hanya untuk menyaksikan bahwa ia tidak pernah dipilih. Sedari dulu ia berdiri di sana, dan tak ke mana-mana.
"Tak cukupkah kau menyakitiku, dan kini kau mau menyakitinya? Kamu benar-benar binat..." Giliran bibirnya yang tak kuasa meneruskan kata-kata.
Suatu malam yang tak pernah ia lupa, ketika lelaki itu menjemputnya di gang kecil tempat tinggalnya, dengan modal bensin yang sengaja ia sisakan untuk sekadar berkeliling kota bersama, lalu mereka kembali ke sudut gang yang sama, dan Sofia duduk termenung di dalam mobil, memenceti tut hape, menunggu respons teman kontrakan agar dibukakan gerbang, lelaki itu meluruskan jok, ia usap lembut kepala Sofia dengan penuh kasih sayang. Ia mungkin tak pernah tahu sedalam apa tarikan napas perempuan yang sepanjang hidupnya belum pernah dibelai.
Sofia terkenang dengan seekor kera yang dibesarkan di kandang besi tanpa orang tua. Kera yang menyendiri, melukai diri sendiri, akibat kekurangan afeksi. Terkadang ia merasa lebih buruk dari kera itu. Ia bagian dari mahluk yang disebut manusia, manusia adalah golongan mamalia, mamalia itu bernama Sofia.
Ia bayangkan dirinya seekor mamalia yang punya ciri mengelus-elus, membelai, memeluk, mengusap, menimang, membesarkan, dan menyayangi anak-anak hasil perkawinannya dengan seekor reptil. Reptil yang sudah berevolusi menjadi mamalia sepertinya. Lalu kini ia bertanya-tanya, siapa reptil yang sesungguhnya. Mengapa justru reptil itu yang mengajarkannya arti butuh dimanja agar sifat mamalianya senantiasa terangsang, jika tiada, maka ia akan berubah menjadi mamalia yang berperilaku reptilia.
Sembari menikmati belaian itu ia dilanda kebingungan tiada tara.
“Hentikan!” ia menampik tangan lelaki itu. Seperti sudah tahu kalau Sofia akan bereaksi demikian, lelaki itu menerimanya dengan welas asih.