Surat itu datang lagi. Surat dengan tinta berwarna merah yang hampir setiap minggu sampai di tanganku. Aku sudah mengunci kotak surat depan rumah, namun surat itu datang lagi dan lagi melalui berbagai cara. Seolah tahu siapa yang harus menerimanya. Surat itu datang ke tempat kerjaku, menyelinap di balik pintu, bahkan dengan seenak hati surat itu datang saat aku sedang menyesap teh di sebuah kafetaria.
Ketukan jendela kamar benar-benar mengganggu. Mata yang telah terpejam kembali terbuka. Ingin tahu kucing kecilkah yang mengganggu tidurku? Atau ranting pohon yang tidak sengaja terbawa angin? Aku menegakkan tubuhku dan menyalakan lampu, tampak tirai yang menari-nari digerakkan angin. Kini, jendela telah terbuka, padahal sejak sore sudah kukunci rapat. Aku tidak takut pencuri, karena ada yang lebih kutakutkan. Secarik kertas yang berada tepat di sela-sela jendela yang telah diberi terali.
Aku berjalan mendekati jendela. Dengan lampu senter ponsel, aku menyoroti setiap sudut halaman rumah yang gelap. Nihil. Tidak kutemukan siapa pun. Kuambil surat itu dan membukanya perlahan.
Aster, kamu tidak pantas hidup bahagia
Surat dengan ciri khasnya tanpa tanda titik sebagai tanda akhir kalimat.
Aku menutup mulutku yang sedikit terbuka. Mataku bergerak ke sisi kanan dan kiri. Bisa saja, Si Pengirim Surat masih berada di sekitar sini. Aku meremas surat itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah kecil di dekat pintu. Haruskah aku menyebutnya beruntung kali ini? Karena tidak jarang aku menerimanya disertai benda-benda aneh, seperti bangkai tikus atau cairan merah berbau amis.
Aku menutup kembali jendela dengan napas tergesa, merapatkan tirai dan meringkuk di atas tempat tidur dengan lampu yang kubiarkan menyala. Kuharap itu yang terakhir. Surat bertinta merah yang kuterima selama dua tahun terkahir tanpa tahu siapa pengirimnya, semoga segera berakhir. Kupejamkan mataku dan mulai beralih ke dunia mimpi.
*
Kafe yang kukunjungi cukup ramai. Hampir semua meja terisi. Meski sudah malam, orang-orang masih menyempatkan untuk mengunjungi tempat ini bersama keluarga mereka, bersama teman terdekat yang asyik bercanda-ria, atau hanya sekadar menikmati hangatnya kopi pelepas lelah sepulang kerja. Meja dan kursi terbuat dari kayu dengan desain yang cukup unik, berbagai jenis tanaman ditempatkan pada tiap sudut ruangan, atapnya juga dihiasi tanaman merambat menambah kesan asri namun tidak terlalu mencolok untuk kafe yang cukup luas. Tidak heran, banyak yang datang berkunjung.
Aku memilih duduk di meja paling belakang dekat dengan jendela. Sengaja karena tidak terlalu bising dan dapat melihat ramainya pemandangan jalanan kota. Menghirup aroma kopi yang sudah kupesan sambil menunggu seseorang datang. Aku mengetuk-ngetuk jemariku di atas meja. Sesekali melirik jam di pergelangan tanganku. Lima belas menit sudah aku menunggu namun orang itu tak kunjung datang.
Ketika aku berdiri, hendak beranjak pergi, orang yang kutunggu datang dengan napas memburu dan duduk tepat di hadapanku. Bercucur keringatnya menandakan dia terburu-buru untuk datang ke sini. Aku duduk kembali, lalu bertanya padanya yang masih mengatur naoas.
“Mau pesan apa?” tanyaku santai.
“Lupakan soal memesan. Apa yang terjadi? Apa masalahmu?” tanyanya serius.
Aku terkekeh. “Masalahku, aku kesepian,” jawabku santai.
“Apa?!” dia membulatkan matanya. “Jangan bercanda, Aster. Jarak rumahku aja jauh dari sini,” gerutunya.
Aku berdecak sebal. “Aku serius, Ruby. Aku bosan. Aku butuh teman.”
Ruby menghela naoas keras, sengaja agar aku mendengarnya. “Apa kamu kurang kerjaan? Atau kamu pikir, aku yang kurang kerjaan? Aku bukan pengangguran, Aster. Jangan perlakukan aku seperti hanya aku yang memiliki banyak waktu senggang di dunia ini.”
“Maaf,” ucapku masih dengan kekehan. Sementara, Ruby masih mengerucutkan bibirnya, tampak ia benar-benar kesal. Namun, aku mengenal Ruby sejak lama. Dia tidak akan berlama-lama memendam rasa kesalnya. “Mau pesan apa?” alihku. “Biar aku yang bayar,” bujukku hendak membayar rasa kesalnya karenaku.
“Nggak perlu, aku udah pesan saat baru sampai tadi. Kamu lihat ini?” Ruby menunjuk pelipisnya yang basah karena keringat dengan telunjuk. Lalu, dia mengelapnya pelan menggunakan tisu. “Malam-malam begini seharusnya kamu nggak buat aku berlari, Aster. Aku berlari dari rumahku untuk sampai di sini karena kamu meneleponku dan bilang ada masalah gawat. Kamu pikir lelahku bisa dibayar dengan secangkir kopi? Aku nggak bisa bayangin jika kamu ada masalah seperti kehilangan klienmu atau alergimu yang kumat. Kamu itu wanita berusia 27 tahun. Usia yang cukup dewasa, bukan gadis berusia 17 tahun yang merengek karena nggak punya teman. Kamu bahkan mengelola Wedding Organizer dengan cukup baik, tapi bahkan kamu nggak bisa jadi WO untuk dirimu sendiri. Makanya, jangan kelamaan sendiri. Aku juga-”
Ucapan Ruby terhenti ketika pesanannya datang. Matanya tidak lepas dari kopi yang masih beruap itu. Aku? Aku bernapas lega, omelan Ruby telah berhenti. Ruby tidak pernah berbicara singkat. Ia akan terus berbicara dengan prmbahasan yang cukup luas.
Ruby mengaduk kopinya pelan, lalu melihat kopiku. Tanpa seizinku, ia mengaduk kopiku juga. “Kamu sudah cek?” tanyanya.
Aku mengerutkan dahiku. Lama tak menjawab, Ruby berdecak. “Kopinya. Sudah cek? Nggak ada kacang lagi, ‘kan?”
Aku hanya terkekeh pelan. “Ini cuma kopi, Ruby. Kamu nggak perlu berlebihan.”
Ruby berhenti mengaduk kopiku dan mulai menatapku tajam. “Kamu ingat kejadian minggu lalu?” Dia terdiam sebentar dan menyandarkan punggungnya. Tentu saja aku ingat.
“Kamu pesan kue coklat di kafe ini, yang isinya kacang. Isinya kacang, Aster!” Ruby menggertakkan gigi-giginya. Dia terlihat jengkel.
“Kecilkan suaramu, Ruby. Semua orang memperhatikanmu sekarang,” peringatku agar Ruby dapat meredam suaranya.
Ruby mendengkus kesal. “Kamu sampai diopname karena tersedak kacang. Jika kamu alergi sesuatu, kamu harus lebih teliti. Lagi pula, aku merasa aneh.” Ruby memutar cangkir kopinya. “Kafe ini terkenal dengan pelayanannya yang bagus, tapi saat kamu memesan kue cokelat, mengapa terisi kacang di dalamnya. Jelas, kamu nggak mungkin memesan kue cokelat kacang di sini.”
Ruby menikmati kopinya. Sesekali, mengungkit tentang kue kacang. Setelah pembahasan itu selesai, aku mengeluarkan secarik kertas putih kusut. Aku menyodorkannya kepada Ruby. “Surat ini datang lagi. Aku udah membakar semuanya minggu lalu, hanya ini yang kusimpan. Sisanya, kubiarkan terkunci dalam kotak surat. Aku nggak tahu harus bagaimana.” Aku tertunduk lesu. Hanya memandangi uap kopiku yang perlahan menghilang.
“Hei, tenanglah. Mana Aster yang dulu kukenal? Yang nggak takut ancaman dengan anak-anak lain, apalagi omong kosong seperti ini!” Ruby memukul surat itu pelan.