Petir dan guntur bersahutan. Tetesan air yang turun dari langit begitu derasnya menghunjam bumi saat gelap. Isakan tangis dan teriakan amarah pun terdengar jua di dalam sebuah rumah besar tanpa pagar.
Seorang gadis kecil meringkuk di ujung pintu dekat jendela. Tangannya gemetar memeluk tubuhnya sendiri, peluh bercucuran, dan matanya dibiarkan terpejam. Jika boleh memilih, dia lebih baik melihat petir di luar dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan dari pada mendengar pecahan keramik yang dilempar dengan bunyi dentingan.
Hari ini adalah hari ulang tahun gadis kecil itu yang ke dua belas, tidak bisakah mereka berhenti? Ini bukan pesta ulang tahun yang ia inginkan. Ia ingin sepotong kue, pelukan hangat, dan doa karena ia telah dilahirkan. Hanya secangkir cokelat hangat pun tak apa. Bukannya disuguhi pemandangan yang mengharuskan ia untuk terbiasa. Karena, sampai kapan pun ia tidak akan pernah terbiasa.
Gadis kecil itu semakin menenggelamkan wajanya di antara kaki yang ia lipat. Tidak sanggup untuk melihat pria dengan rahang mengeras membawa tongkat bisbol di tangannya. Tidak sanggup melihat wanita yang meringkuk dengan tangis yang tidak kunjung berhenti meski matanya telah memerah. Pecahan keramik dari vas bunga yang berceceran, kaca yang pecah, meja terbalik, benda-benda berserakan dan... ada satu hal yang sangat aku ingat, darah yang semakin parah mengucur deras di pelipisnya. Luka lebam di mana-mana.
Setelah pria itu pergi, naik ke tangga menuju lantai atas, gadis kecil itu berdiri dan melangkah pelan di antara lantai yang dipenuhi pecahan keramik dengan hati-hati. Ia memeluk ibunya mencoba untuk menenangkan, mencoba untuk mengatakan jika ada dirinya yang akan selalu di sampingnya, mencoba untuk berbagi rasa sakit yang juga ia terima. Namun, apa yang ia dapat? Dorongan kuat dari ibunya sendiri hingga tersungkur. Tangan gadis itu luka, tertusuk salah satu pecahan keramik. Namun, siapa yang peduli? Ketika tangan hendak menggapai ibunya, segera ditepis dengan sangat kasar. Gadis kecil itu menahan tangis, takut jika isakannya keluar akan memperparah keadaan. Masih dalam posisi yang sama, ibunya berdiri, mengucapkan sederet kalimat yang tidak ingin ia dengar.
“Seharusnya, kamu nggak pernah dilahirkan!” Ibunya pergi meninggalkan gadis kecil itu sendiri. Ia dibenci oleh ibunya karena memiliki darah ayahnya dan begitu pula dengan ayah yang membencinya karena mewarisi darah ibu. Mereka yang memulai pernikahan, namun mengapa ia yang terkena imbasnya?! Gadis kecil yang malang, ia tidak sanggup menahan tangis usai perkataan ibunya. Isakan meluncur begitu saja saat guntur mulai bersahutan.
Saat itu, ia bertekad untuk tidak menunjukkan belas kasih meski pun ingin.
Saat itu, ia acuh tentang apa pun yang terjadi di rumah.
Saat itu, ia bertahan selama lima tahun lamanya sebelum keluarganya hancur.
Saat itu juga, ia mulai berbagi sakit dan benci yang ia rasakan pada orang lain agar dapat merasakan hal serupa.
Pukul 01.00
Napas tersenggal-senggal, kerongkonganku rasanya mengering. Peluh bercucuran. Aku mengusap wajahku pelan. Menarik rambutku kuat. Mimpi itu lagi. Mengapa kembali terulang? Aku mencari-cari gelas yang biasa kusiapkan di atas nakas. Tidak ada. Mataku menyapu sekeliling dan terpaku pada cermin. Wajah ini masih sama. Aku belum kembali.
Aku bangkit dari tidurku dan bergerak menuju dapur tanpa menyalakan lampu. Mungkin, segelas air putih dapat menenangkanku. Kutuangkan air putih ke dalam gelasku, lalu menenggaknya hingga tandas. Terdengar suara langkah mendekat dan lampu pun menyala.
“Ay, belum tidur?” tanyanya masih dengan nada yang sangat lembut.
Aku menggeleng. “Saya belum mengantuk.”
“Mimpi buruk?” tanyanya lagi.
“Bukan urusan anda,” jawabku ketus memalingkan muka.
Wanita yang baru saja bertanya padaku adalah ibu dari Ayumi. Beruntung sekali dia memiliki ibu berhati lembut, padahal aku sudah bersikap kasar padanya saat baru sampai di rumah ini. Aku jadi iri padanya.
Sejenak, kami terdiam. Wanita itu mengangkat tangannya tinggi. Aku membulatkan mata, sedetik kemudian aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Detik berikutnya adalah usapan hangat yang mengelus punggungku. Merangkul bahuku. Aku membuka mataku begitu pelukannya terlepas. Sangat berbeda dari perkiraanku.
“Ibu nggak tahu apa yang terjadi sama kamu di sekolah.” Wanita itu meraih kedua tanganku, mengusapnya dengan usapan yang tak kalah lembut dari ucapannya. “Tapi, Ay. Kamu ingat pesan Ibu? Kamu bisa cerita apa pun sama, Ibu. Karena kamu adalah mutiara yang tak ternilai di dunia ini.”
Aku menarik tanganku saat berada dalam genggamannya. Tidak ingin hanyut dalam perasaan kasih sayang yang sebenarnya tidak ditujukan untukku. Tapi, untuk Ayumi. Pemilik wajah ini.
Wanita itu mengangkat tangannya lagi, membuat mataku terpejam lagi. Tidak terjadi apa pun, selain sentuhan lembut pada luka lebam pada dahiku. Aku meringis dan membuka mataku ketika lukaku sedikit ditekan.
“Apa masih sakit?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Apa perlu ke rumah sakit?” tanyanya lagi.
“Tidak usah,” jawabku masih dengan nada yang tidak bersahabat.
Wanita itu meraih tanganku dan menggenggamnya lagi. Kali ini, aku biarkan.
“Kalau begitu, tidurlah agar besok nggak terlambat ke sekolah. Namun, jika kamu masih merasa pusing, kamu nggak usah berangkat dulu. Biar Ibu hubungi wali kelasmu nanti. Oke?” Wanita itu hanya tersenyum ketika aku tak kunjung menjawabnya. Dia melepaskan tanganku, lalu beranjak pergi.
“I-ibu,” panggilku ragu. Hanya terdengar bisikan kecil, namun dapat membuat wanita itu berbalik. “Saya...” kalimatku menggantung. Aku menggelengkan kepalaku. “A-aku mimpi buruk,” ucapku sambil mencengkeram ujung meja.
“Mau Ibu temani seperti dulu?”