Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #3

#3 Sebuah Adegan yang Diputar Ulang

Lenyap. Rumah bercat putih itu lenyap seperti tidak pernah dibangun. Hanya ada ilalang yang memenuhi halaman kosong itu dan pagar pembatas yang masih berdiri kokoh. Tanaman merambat pun menjalar ke setiap sudut pagar. Pagarnya sedikit terbuka, sama seperti terakhir kali aku mengejar Si Pengirim Surat. Kotak pos pun masih terkunci.

“Aster,” panggil Ditya. Aku menoleh. “Kamu yakin ini lokasinya? Ini hanya lahan kosong.”

Aku menatap lurus lahan kosong itu. “Aku tahu, tapi ini alamat rumahku.” Aku membuka pagar lebih lebar, decitannya memekakan telinga. Berkarat, rupanya. Tanpa ragu, aku melubangi tanah di lahan sebelah kanan yang dulunya adalah taman kecil dekat kolam ikan. Sinar mentari membuat benda kecil itu berkilau. Aku memungutnya. Sebuah kunci.

Aku mulai membuka kotak pos yang terkunci. Pandanganku tertuju pada tumpukan kertas putih yang memudar.

“Bahkan surat itu masih ada,” lirihku. Ditya mengambil salah satu surat itu tanpa seizinku. Tertulis:

Tanganmu kotor

Nanti, akan kubersihkan

“Sejak kapan?” tanya Ditya yang membuyarkan lamunanku. Matanya menyipit saat menoleh ke arahku.

 Aku merebut surat itu dari tangan Ditya. “Dua tahun terakhir,” jawabku singkat. Aku memasukkan surat itu ke dalam kotak pos. Lalu, menguncinya. Kali ini, kunci itu tidak kusembunyikan, tapi kulempar masuk ke tumpukan ilalang.

Sejenak kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ditya melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Lalu, ia memecah keheningan. “Kurasa, kita harus segera pulang. Kudengar, bus di daerah sini hanya akan beroperasi sampai pukul 7.

“Tunggu, ada satu lagi yang ingin kulakukan.” Aku berlari ke pertigaan sisi kiri dari rumah. Sementara, Ditya mengikutiku dari belakang. Kami sampai di pertigaan dengan pohon-pohon yang rimbun di setiap sisi jalan. “Di sini,” ucapku. “Di sini kepalaku terbentur, lalu bangun sebagai Ayumi di sekolah. Di sini.” Aku memposisikan tempatku berdiri. “Dorong aku, Ditya.”

Ditya bergeming.

“Dorong aku hingga aku terbentur dan kembali menjadi Aster!” seruku.

 Ditya sama sekali tidak bereaksi.

“Tolong,” ucapku. Ditya tetap saja diam padahal aku sudah mengatakan kata kuncinya.

“Kalau kamu nggak mau bantu, ya udah. Minggir, biar aku jatuhkan diriku sendiri aja!” sungutku sebal. Aku mengatur napasku perlahan. Jika lukaku pada pelipis, berarti aku harus menjatuhkan diriku dari sisi samping. Aku mulai menghitung dalam hati.

Satu.

Dua.

Tiga!

Tidak terjadi apa pun. Aku membuka mataku perlahan. Ditya menangkapku. Aku bangkit dari posisiku dan menatap bocah itu sengit. “Jangan halangi aku!”

“Kamu sungguh ingin kembali?”

Aku mengangguk mantap. “Ya, jadi minggir!” Aku mendorong Ditya dari samping agar bisa memposisikan tubuhku berdiri di samping tempat saat kuterbentur.

“Aster,” panggil Ditya.

Aku mendengkus kesal.

“Apa yang kamu lakukan sebelum terbentur?”

“Bukan urusanmu!” aku yang terlanjur kesal tidak bisa berbicara dengan Ditya baik-baik.

“Apa yang kamu lakukan saat itu?” ulang Ditya. Nada bicaranya berubah menjadi sangat serius.

Aku terdiam sesaat. “Menangkap Si Pengirim Surat!” ucapku ketus.

“Selesaikan itu dulu, agar kamu bisa kembali.”

Ucapan Ditya membuat dahiku berkerut. “Mengapa harus kuselesaikan? Aku bisa mencari Si Pengirim Surat ketika aku kembali menjadi Aster. Jadi aku harus membenturkan kepalaku dulu.”

“Kamu ini keras kepala atau bodoh?!”

“Hei, bocah! Aku lebih tua darimu, berani sekali mengataiku bodoh!” tudingku pada Ditya.

“Kamu pikir dengan membenturkan kepalamu berulang kali dapat membuatmu kembali? Kamu udah melakukan itu di UKS tempo hari. Lalu, apa yang terjadi? Nggak ada, ‘kan?”

Lihat selengkapnya