Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #4

#4 Antara Dua Variabel

Tik tok

Tik tok

Detik jam mulai berdetak. Detakannya terasa lambat.

Aku memeluk kedua lututku erat. Sudah hampir satu jam aku terkunci di ruang seni. Berteriak? Sudah. Memukul pintu, menendangnya? Sudah. Sayangnya, laboratorium di ruang sebelah sedang tidak dipakai.

Jadi, seperti ini rasanya yang kulakukan pada dia? Bahkan lebih parah. Seperti inikah yang dirasakan perempuan lugu itu saat aku menjebaknya? Sendirian dalam ruangan tanpa seorang pun yang datang untuk menolong.

Aku memandangi kedua tanganku sendiri. Air mata mulai berjatuhan. Pengirim Surat itu benar ternyata. Tangan ini kotor, harus dibersihkan.

Selang beberapa saat. Bunyi klik membuatku menoleh dengan pipi yang masih basah. Derit pintu terdengar, ada yang membukanya. Langkahnya pelan, tidak tergesa. Menyelimutiku dengan jaketnya.

Aku melepaskan jaket yang berada di bahuku dan mengembalikannya. “Nggak perlu.”

“Ini masih baru, belum aku pakai dan seragammu masih basah,” kata Ditya. Ditya kembali menyampirkan jaketnya ke bahuku.

Aku menangis. Menumpahkan air mataku di depan Ditya. Walau isakanku semakin kencang. Ditya hanya bergeming. Alih-alih menghentikanku, dia membiarkanku sampai aku berhenti dengan sendirinya.

Aku masih di posisi yang sama. Duduk dengan memeluk kedua lututku. Setelah lama terdiam, aku mulai bersuara. “Semuanya terulang, Ditya. Aku harus bagaimana? Setiap adegan yang kulakukan dulu, kembali terulang dengan situasi sebaliknya. Jegalan kaki itu, ruangan ini, semuanya sama! Besok apa lagi?! Aghista, dia...seperti cerminanku yang dulu. Aku harus bagaimana, Ditya?”

Ditya menyandarkan punggungnya pada dinding dekat pintu. Tangannya dilipat di atas dada. “Terima saja.”

“Apa?” Aku mendongkak tidak yakin dengan ucapannya. Tapi, pemilik jaket yang ada di bahuku hanya berekspresi datar.

“Terima saja, Aster,” lanjutnya. “Bagaimana rasanya saat kamu berada di posisi dia?”

Aku menatap Ditya tidak percaya.

“Terkadang, kata maaf aja nggak mudah menyembuhkan hati yang luka. Tapi lebih baik dikatakan dari pada nggak sama sekali, ‘kan? Sekarang, aku tanya. Apa ada kata maaf yang kamu ucapkan untuk dia?”

Aku diam.

“Nggak ada kata maaf dari kamu untuk dia.” Ditya diam sejenak sebelum melanjutkan dengan kalimat yang diperlambat. “Li-vi-a-na. Iya, ‘kan?”

Ditya tahu?

“Dari mana kamu tahu itu dia?” Mataku menyipit. “Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku serius.

“Aku?” tunjuknya pada dirinya sendiri. “Raditya Mahendra,” jawabnya mantap.

Lihat selengkapnya