Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #5

#5 Lantai Tiga Perpustakaan

“Itu milik Agas. Dia sering memakainya ke sekolah.” Perempuan di hadapanku ini sungguh berteguh hati dan itu menjengkelkan untukku. Lima menit terbuang sia-sia hanya untuk berdebat tentang jaket milik Ditya.

“Bukan. Ini jelas-jelas milik Ditya. Dia meminjamkannya padaku seminggu lalu.”

“Nggak ada yang namanya Ditya di kelas ini.”

Aku bersungut sebal. “Aku menerimanya dari Ditya. Raditya Mahendra dari XII Sosial 5.”

Perempuan di hadapanku memutar bola matanya malas. “Mau Ditya, Raditya, atau Mahendra. Nggak ada nama itu di kelas ini. Jaket ini milik Agas Radiansyah,” tegasnya.

Percuma! Sepertinya perempuan di kelas Ditya tidak mau mengalah. Ditya dengan jelas memberitahuku kelasnya XII Sosial 5. Aku tidak salah dengar, ‘kan? Kini, aku menghentak-hentakkan kakiku karena kesal.

“Bisa retak lantainya kebanyakan diinjak,” sindir perempuan itu.

Aku menyodorkan jaket Ditya yang sedari tadi kupegang. “Pokoknya, berikan jaket ini pada Ditya. Aku nggak mau tahu.” Aku berlalu pergi.

“Ngeyel ini anak.” Aku dapat dengan jelas mendengar gumamannya. Tidak kupedulikan. Kalau saja Ditya bisa dihubungi, aku pun tidak akan menitipkannya pada perempuan itu.

Baru beberapa langkah saja, tubuhku hampir terhuyung karena kerah seragamku ditarik ke belakang. Aku menoleh, perempuan itu lagi. Tingginya melebihiku, mau tak mau aku mendongkak untuk melihatnya.

“Lihat ini! Lihat baik-baik.” Perempuan itu mengangkat jaket Ditya di depan mataku. Nada bicaranya mengingatkanku pada pertunjukkan sulap yang pernah kutonton. Jangan sampai ada setangkai mawar merah di dalamnya.

“Taraa!” teriak perempuan itu girang. Dia membalik jaket Ditya, tepat di bagian bawah sebelah kanan, dekat dengan saku tertulis Agas Radiansyah yang ditulis dengan huruf bersambung. Tidak mungkin! Apa Ditya meminjamkan jaket milik orang lain padaku?

Wajah girang yang dibuat-buat oleh perempuan itu lenyap seketika, berganti dengan mukanya yang masam. “Aku bilang juga apa! Jaket ini milik Agas. Semua orang di kelas ini memiliki jaket yang sama dengan nama masing-masing yang dibordir di bagian bawah. Ngeyel, sih.”

Entah jaket itu milik Agas atau siapa pun, aku memaksakan cengiran lebar. “To-tolong berikan pada pemiliknya.” Aku merasa tidak enak hati.

Ditya menyebalkan! Batinku geram. Bisa-bisanya dia meminjamanku jaket orang lain yang tidak kukenal. Jaket ini masih baru, apanya!

Kulanjutkan tujuanku ke perpustakaan. Guru Bahasa Indonesia berhalangan hadir. Kami diberi tugas meresensi sebuah buku. Kuputuskan untuk ke sana lebih awal. Masih istirahat memang, namun aku sedang tidak nafsu makan. Sepertinya, menikmati waktu istirahat di perpustakaan tidak buruk juga.

Langkahku agak diperlambat ketika melihat sosok yang tidak kutemui selama satu minggu lamanya. Pelajaran pertama hari ini pun dia tidak hadir, entah karena alasan apa. Aku tidak peduli.

Tebak, siapa perempuan yang berjalan di koridor yang sama denganku ini? Haruskah aku memberinya pelajaran karena telah mengurungku di ruang seni minggu lalu? Tidak. Tidak perlu. Aku tidak ingin kembali menjadi Aster yang dulu.

Aku menghela napas pelan. Aghista berjalan ke arahku, sementara aku berjalan ke arah perpustakaan. Arah kami yang berlawanan membuat jarak kami semakin dekat di koridor yang sama. Aghista sendiri, tanpa Mala dan Eriska yang entah tidak tahu kemana. Mata kami bertemu, namun Aghista buru-buru menunduk.

“Udah minta maaf?”

Suara itu membuatku berbalik. Ditya tepat berdiri di belakangku. Sejak kapan?

Pertanyaan Ditya sepertinya ditunjukan pada Aghista yang mematung. Pandangannya masih menunduk.

“Udah minta maaf?” ulang Ditya. Nada bicaranya yang dingin sempat membuatku merasa aneh.

Aghista tidak mendekat atau bicara sepatah kata pun. Pandangannya berpencar ke segala arah, saat melihatku alisnya sedikit turun.

“Cepat minta maaf,” pinta Agas.

Aku dan Aghista sama-sama tersentak. Ini bukan Ditya. Ditya memang sering bersikap sinis padaku. Tapi, kali ini berbeda. Dia....marah?

Ragu, Aghista mengulurkan tangannnya padaku. “M-maaf, Aster, atas semua yang pernah kulakukan. A-aku janji nggak akan mengganggumu lagi.”

Suara Aghista bergetar. Sesekali matanya mengerling ke arah Ditya dan aku. Aku menyambut ulurannya. Setelah itu, Aghista bergegas pergi. Aneh! Aku yakin pasti ada yang terjadi di antara Ditya dan Aghista.

“Ke perpustakaan?” tanya Ditya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. Tanpa izin, Ditya mengambil buku yang kupegang, lalu berjalan mendahuluiku. Aku berusaha mengejarnya dan mengambil kembali bukuku. Hanya satu buku, untuk apa dibawakan? Berlebihan!

“Ditya, aku rasa kamu nggak perlu bersikap seperti tadi pada Ghista,” ucapku.

Ditya berhenti. “Meminta orang lain untuk berkata maaf atas kesalahan yang ia perbuat, kamu anggap salah?”

“Bukan begitu.” Aku menoleh ke belakang, Aghista sudah tidak terlihat. “Hanya saja.. sepertinya Ghista ketakutan. Ini aneh! Dia selalu bersikap angkuh padaku, tapi tadi, dia minta maaf bahkan suaranya bergetar,” tuturku.

“Bukankah itu bagus?”

Bagus katanya?

“Kamu nggak macam-macam, ‘kan?” tanyaku penuh selidik.

“Aku?” tunjuk Ditya pada dirinya sendiri. Kemudian, Ditya menggelang. “Aku hanya sedikit menggertaknya.”

Tanpa menungguku untuk bertanya hal lain. Seperti biasa, Ditya berjalan mendahuluiku dan aku mengikutinya dari belakang. Kakinya yang panjang dan langkahnya yang lebar membuatku sulit untuk berjalan bersisian dengannya, kecuali dengan berlari seperti tadi.

Perpustakaan selalu buka meski di jam istirahat. Setelah sampai, aku dan Ditya mengisi daftar pengunjung. Lalu, kami menaiki tangga hingga lantai paling atas perpustakaan. Lantai tiga.

Seperti dugaanku, lantai tiga perpustakaan ini juga sesepi perpustakaan sekolahku yang dulu. Hanya ada dua orang pengunjung selain aku dan Ditya. Tidak ada petugas perpustakaan, karena urusan pinjam-meminjam terletak di lantai dasar.

Aku melesat ke rak buku pengetahuan umum. Kucari buku yang paling tipis agar tidak terlalu lama membacanya sehingga bisa dengan cepat menulis resensi. Sementara, Ditya mengambil tiga buku sekaligus di rak ensiklopedia.

Aku duduk di bangku dekat tangga. Kubaca buku yang kutemukan tanpa penuh minat. Jika saja bukan karena tugas, aku tidak akan membaca buku yang tidak kusukai. Jujur, aku tidak terlalu suka membaca buku. Bagiku, membaca dapat membuatku mengantuk, kecuali komik dan majalah fashion edisi terbaru.

Lihat selengkapnya