Sejenak, singgah ke masa lalu.
Usiaku 15 tahun. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Ayah mengajakku dan Ibu pergi ke puncak. Tepat di malam tahun baru. Kami menaiki mobil tua Ayah untuk sampai ke sana. Ibu tidak henti-hentinya tersenyum. Sementara, Ayah sibuk menyetir. Aku membuka jendela mobil, membiarkan dinginnya angin malam menusuk permukaan kulitku dan membuat surai hitamku menari karenanya.
Lampu warna-warni gemerlap di sepanjang jalan. Kembang api muncul satu per satu di atas gelapnya langit. Anak-anak berlarian membawa kembang api kecil di tangan mereka. Saling berkejaran. Lantas, membuatku tersenyum. Sampai di pertigaan, kami berbelok. Menuju jalan menanjak penuh batu nan terjal.
Kulihat sekelompok anak-anak sedang mendirikan tenda di lapangan dekat perkebunan. Mayoritas anak kecil yang sepertinya baru menginjak sekolah dasar. Namun, beberapa dari mereka juga ada yang seusiaku dan dua orang dewasa yang terlihat mengawasi sambil sesekali bersenda gurau. Jumlah mereka berkisar lima belas orang dengan enam tenda yang didirikan. Seorang di antaranya, melambai ke arahku. Aku tidak balas melambai ke arahnya. Ternyata, dia tidak hanya melambai ke arahku. Saat aku melewatinya, dia juga melambai ke arah pengendara lain di belakangku. Dia, perempuan seusiaku, dengan jepit rambut ungu yang dipakainya. Aku tidak tahu siapa dia. Aku juga tidak tahu orang-orang itu. Aku tidak tahu banyak tempat ini. Aku hanya tahu vila milik Ayah yang berada di puncak dan jalan menuju ke sana.
Danau yang terbentang luas sudah terlihat. Hampir sampai. Aku masih ingat ketika terakhir kali ke puncak. Ulang tahunku yang ke sepuluh. Jadi, sedikit banyak aku cukup hapal jalan menuju ke sana.
Setelah sampai di sana, Ibu menyeret kopernya juga koperku ke dalam. Sepanjang perjalanan, Ibu selalu antusias dengan rencana Ayah untuk berlibur. Ayah menenteng tas kecil yang hanya muat beberapa baju. Padahal, kata Ayah kami akan menghabiskan waktu seminggu untuk berlibur di sini.
Ibu tidak berhenti melebarkan senyumnya. Ayah juga. Suasana ini sedikit canggung bagiku yang sudah lama tidak menikmatinya. Aku hanya diam dan menurut jika dimintai tolong membawa tas kecil berisi camilan.
Ayah dan Ibu lebih dulu masuk. Aku menyusulnya dari belakang. Namun, saat kumasuki vila Ayah, kulihat dari belakang bahu Ibu bergetar. Aku melangkah ke sisi kiri Ibu. Ingin tahu kenapa. Senyuman lebar Ibu telah sirna berganti tatapannya menuju sofa ruang tamu. Kuikuti arah pandang Ibu. Ada orang lain di sana, sedang menunggu. Seorang wanita seusia Ibu dengan anak perempuan kecil di pangkuannya.
Ayah mengatakan, "dia adikmu, Aster. "
Aku melihat anak kecil itu. Dia tersenyum dan melambai ke araku. Wanita yang memangku anak itu juga tersenyum. Tidak merasa bersalah sedikit pun. Aku mematung melihat mereka. Lalu, beralih menatap Ayah.
Aku menatap Ayah dengan sorot mata tajam. Ada bumbu amarah yang seketika meresap dalam tubuhku. Ada angin kebencian yang merasuk dalam pikiranku. Ada rasa kecewa yang menghunus bagian paling rapuh. Hati.
"Dia bukan adikku, " tegasku pada Ayah.
Ayah bergeming. Rahangnya mengeras. Buku-buku tangannya memutih.
Aku tidak tahu siapa anak kecil itu, siapa wanita yang memangkunya dan apa hubungannya dengan Ayah. Aku tidak pernah tahu.
Ibu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ibu menahan isakan kecil keluar dari mulutnya.
Kutegaskan sekali lagi pada Ayah. "Dia bukan adikku."
Ayah bergegas menuju halaman belakang. Seperti mencari sesuatu karena terdengar suara benda-benda dipindahkan. Kudengar suara langkah Ayah kembali, membawa sebilah rotan panjang.
Aku mundur. Ayah menantangku untuk mengatakan apa yang baru saja aku katakan. Kutatap Ibu, meminta tolong. Namun, Ibu hanya diam. Menunduk, menatap lantai. Kulihat wanita yang duduk di sofa terkejut dengan bentakan Ayah dan benda panjang yang dibawanya. Sepertinya, dia tidak mengenal Ayah lebih jauh.
Aku mendongkak. Menolak takut, meski tubuhku juga bergetar seperti Ibu.
"Dia bukan adikku."
Satu kalimat yang mampu menyulut emosi Ayah. Mata Ayah memerah, rahangnya mengeras, tangannya mencengkeram erat bilah rotan.