Setalah mendapat pesan dari Aghista, aku mengiriminya rentetan pesan panjang. Tidak dibalas. Kugigit ujung-ujung jariku sambil bergerak mondar-mandir mengelilingi kamar. Kuhubungi nomornya beberapa kali, tidak kunjung diangkat. Aku ketuk tombol untuk menghubunginya sekali lagi, berhasil diangkat.
"Aghista, aku rasa kamu perlu menjelaskan sesuatu padaku! Apa maksudmu mengirimiku paket malam ini?"
Tidak ada jawaban.
"Ghista, jawab aku!"
Masih tidak ada jawaban.
"Siapa kamu sebenarnya? Apa hubunganmu dengan surat tanpa tanda titik itu?!"
Hening.
"Aghista, apa kamu pelakunya?"
Tetap tidak ada jawaban, seolah aku sedang bermonolog.
"Apa kamu.. si pemilik bekas luka diagonal itu? Apa kamu Si Pengirim Surat yang selama ini aku cari?"
Aku menunggu, namun Aghista tetap tidak menjawab dengan satu kata pun. Sunyi, senyap. Hanya terdengar bunyi jangkrik dari balik jendela kamarku.
Hilang sudah kesabaranku. Aku berteriak frustasi. "Aghista jawab aku!"
Panggilan telepon diputuskan sepihak, tentu bukan aku yang memutuskan panggilan. Aku mencengkeram ponselku, hendak melemparnya kalau saja aku tidak ingat jika membeli ponsel baru tentu memerlukan uang.
Aku mengetuk tombol panggilan untuk menghubungi Aghista lagi. Non aktif. Entah itu berarti dia kehabisan baterai atau sengaja mematikan ponselnya.
Aku berkacak pinggang. Masih mengelilingi setiap sudut kamar. Mondar-mandir dengan dahi berkerut dalam. Aku seperti dipermainkan. Aghista mengangkat panggilan teleponku, namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Jika memang Aghista adalah Si Pengirim Surat, kemungkinan, dia juga terjebak di sini seperti aku dan Ditya. Aku memejamkan mataku, tidak tidur. Aku memikirkan cara lain.
Ketemu! Kubuka mataku. Lalu, aku mengirim pesan ke salah satu kontak yang ada di ponsel Ayumi. Kuharap dia tahu alamat Aghista.
Sebuah pesan masuk. Tertera alamat lengkap Aghista. Aku bangkit dari posisiku dan mengetik 'terima kasih'. Setelah itu, aku meletakkan ponselku di dalam laci, lebih dulu dinonaktifkan. Besok akan kukunjungi rumah Aghista. Bertemu sepertinya lebih baik untuk menggali tujuan Aghista secara rinci.
Aku menguap. Rasa kantukku datang. Kuharap besok bukanlah mimpi buruk.
*
Esoknya langkahku memburu. Tujuanku adalah halte, menunggu bus datang meski masih jam 6 pagi. Hari Minggu, sekolah yang libur dapat kugunakan untuk mengorek informasi tentang Aghista. Datang ke rumah Aghista dirasa lebih tepat dibanding menunggu nomornya aktif.
Setelah bus datang, aku menaikinya. Aku duduk di bangku paling belakang, paling ujung dekat jendela. Kuletakkan kotak berukuran sedang-pemberian Aghista di atas pangkuanku yang berbalut celana panjang longgar.
Kali ini, aku tidak meminta bantuan Ditya. Dia sudah cukup aku repotkan. Aku harus bertindak sendiri. Aku tidak ingin dicap parasit karena selalu menempel padanya.
Kakiku berpijak di salah satu halte saat aku turun. Butuh sekitar sepuluh menit untuk berjalan kaki. Dari pertigaan yang terdapat toko roti, belok ke kiri. Aku mengikuti petunjuk sesuai balasan pesan.
Aku sampai di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup asri. Aku segera membuka gerbang yang tidak dikunci. Melewati halaman rumah yang dikelilingi rerumputan. Aku mengetuk pintu setelah sampai di teras rumah.
Suara kenop pintu diputar. Aghista yang memutarnya. Langsung saja dia menarikku ke dalam rumah, lalu mengunci pintu dari dalam. Aghista terus menarikku hingga ke dalam kamarnya, lalu mengunci pintu kamarnya dari dalam juga.
"Nah, di sini aman." Aghista menghela napas pelan.
"Aman?" ulangku yang tidak mengerti maksudnya.
Aghista membawaku duduk di sisi kasur.
"Untuk apa datang ke sini?" katanya setengah berbisik.
Tanpa basa-basi, aku meletakkan kotak paket yang berisi surat di hadapannya. "Untuk apa kamu mengirim ini?"
Ragu. Aghista membuka kotak itu dan tertegun setelah melihat isinya.
"Aku nggak pernah mengirim ini! Sungguh, Ay." Aghista menyangkal.
"Lalu, siapa lagi kalau bukan kamu?" Aku menunjukkan sebuah pesan yang mengatasnamakan Aghista di dalamnya. "Untuk apa kamu menyangkal, tapi kamu mengirim pesan ini padaku? Jika akhirnya kamu berpura-pura untuk nggak tahu apa-apa. Harusnya kamu nggak mengirim pesan ini seperti dulu!" Aku mengembuskan napas kesal.
"Berpura-pura?" ulang Aghista. "Aku benar-benar nggak tahu apa maksudmu. Aku udah berjanji untuk nggak mengganggumu. Jadi, untuk apa aku mengirim paket aneh ini?"
"Aku benci orang yang pura-pura bodoh! Cukup jawab aku, apa kamu yang mengirim surat tanpa tanda titik ini?!" Aku mengangkat tinggi surat dari dalam kotak itu. "Apa kamu pelakunya? Perempuan dengan bekas luka diagonal di dahinya? Siapa kamu sebenarnya, Aghista?"
Aghista terdiam. Menatapku tidak percaya dengan berbagai pertanyaan yang menyerangnya.
"Apakah aku terlihat seperti penjahat yang tertangkap basah? Untuk apa aku mengirim paket ini?"