Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #8

#8 Tempat Kejadian Perkara

Aghista benar-benar mempertimbangkan untuk tidak merundung orang lain lagi. Bukan karena ucapanku minggu lalu, tapi karena dirinya sendiri. Puncaknya ketika Kak Liv menangkap basah Aghista yang sedang merundung temannya di suatu gang kecil. Saat itu, aku juga tengah berada di sana dan mendengar obrolan mereka. Aghista sangat menyayangi kakaknya. Hatinya ikut terluka ketika sang kakak terluka melihatnya melakukan tindakan konyol itu, merundung seseorang.

Butuh proses, tidak instan. Itu yang kupikirkan tentang Aghista. Pandangan Aghista menunduk, sesekali menatap jalanan di depannya. Tidak ada Mala atau Eriska lagi, Aghista tidak lagi menjadi murid yang disegani karena tingkahnya. Meski begitu, label mantan penindas dan perundung masih melekat padanya. Dia memang tidak lagi disegani, namun dijauhi dan dikucilkan. Tidak memiliki teman dan sulit untuk membangun sebuah hubungan pertemanan. Hal yang kurasakan dulu.

Aku sudah tidak yakin jika Si Pengirim surat tanpa tanda titik itu adalah Aghista. Dia hanya terjebak dalam teorinya sendiri untuk merundung jika tidak ingin dirundung. Selain itu, garis luka kudapati pada wajah Liviana, bukan Aghista.

Aghista berjalan di depanku setelah pulang sekolah, aku mengikutinya dari belakang. Dia tidak mengetahui aku mengikutinya. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun, langkahku terhenti ketika kami melewati suatu gang kecil yang diapit dua bangunan tinggi. Gang ini adalah jalan lain untuk mencapai halte lebih cepat.

Aku memutar memoriku dengan paksa. Sepuluh tahun yang lalu bukanlah waktu yang singkat. Aku ingat gang ini. Gang sempit dengan tong sampah yang hampir penuh. Tulisan corat-coret menghiasi dinding. Di pertigaan menuju trotoar terdapat terali besi yang terbengkalai. Persis.

Mataku membulat. Aku mencengkeram ranselku erat. Jika kejadian masa lalu kembali terulang di tempat ini, posisi Aghista adalah aku dan aku berada di posisi Liviana. Maka, selanjutnya adalah... Aku menggelengkan kepalaku. Tidak boleh! Meski apa yang dikatakan Ditya jika semua di sini palsu, aku tetap tidak ingin kejadian itu terulang di depan mataku.

Aku mempercepat langkah kakiku untuk menyamai langkah Aghista sebelum mencapai ujung trotoar untuk menyebrang. Tidak sabar melangkah, kuputuskan untuk berlari. Ketika tanganku sudah hampir meraih lengan Aghista semuanya terlambat. Pengendara motor dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh Aghista. Aghista melayang dan terbentur salah satu tiang papan iklan. Pandangan Aghista sayu melihatku. Kepalanya mengeluarkan darah. Semua orang berkumpul dan salah satunya aku yakin menelepon pihak rumah sakit guna mencari bantuan. Pengendara motor yang sudah menabrak Aghista sudah melarikan diri. Aku? Aku tetap berdiam diri dengan air mata yang meleleh. Melihat sekeliling, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku terus menyalahkan diriku sendiri karena tidak dapat meraih lengan Aghista. Sementara, Aghista memandangku dengan tatapan sayunya. Kemudian, terpejam.

Ambulans segera datang dan menaikkan tubuh Aghista. Aku diperbolehkan ikut setelah mengaku sebagai temannya. Aku menangis, mengusap wajahku kasar. Aku ingat ketika kecelakaan itu terjadi padaku. Delapan jahitan menyakitkan. Aku menggenggam telapak tangan Aghista, mencoba memberitahunya jika aku di sini. Aku mengambil ponsel Aghista setelah meminta izin petugas. Menelepon satu-satunya orang yang paling dekat dengan Aghista.

Setelah sampai di rumah sakit, Aghista langsung ditangani. Tidak lama, Liviana datang dengan tergesa. Langsung menanyakan keadaannya padaku. Aku menjawab seperlunya.

“Harusnya aku nggak terlalu kasar padanya. Harusnya aku nggak memarahinya karena kejadian tempo hari. Apa dia melamun karena itu hingga tertabrak?!” Liviana memulai pembicaraan dengan menyalahkan dirinya sendiri.

Liviana menutup wajahya dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Dia menangis. Tidak dapat kupungkiri, dia sangat dekat dengan Aghista meski tidak memiliki hubungan darah.

Tanganku hampir menyentuh bahunya yang bergetar, namun aku urungkan. Aku ikut menangis.

“Kamu pulanglah,” bujuk Liviana padaku. Aku menggeleng sebagai bentuk penolakan. Liviana menggenggam kedua tanganku. Aku tertegun, melihat kedua tanganku yang digenggamnya. “Ibumu pasti cemas karena hampir petang. Biar aku menjaga Aghista di sini,” bujuknya lagi. Aku tidak bisa menolaknya kali ini. Aku bangkit, namun Liviana meraih lenganku.

Dengan mata yang masih berkaca, dia mengatakan sesuatu yang harusnya kuucapkan padanya sejak dulu. “Kudengar, kamu salah satu korban perundungan Ghista. Aku minta maaf atas kelakuan adikku.”

Hatiku teriris. Harusnya aku yang memohon maaf padanya atas semua tingkahku padanya. Dia, Liviana, mengapa terlalu baik? Sejenak, aku juga meragukan Liviana sebagai Si Pengirim Surat. Mereka sama-sama memiliki bekas luka diagonal, namun bukan itu yang menjadi satu-satunya bukti.

Langkahku lunglai, badanku terasa lemas. Aku duduk di halte depan rumah sakit untuk menunggu bus datang. Sepuluh menit berlalu, bus belum juga datang.

Sorot lampu menyilaukan, bergerak ke kanan dan ke kiri menghalangi pandanganku. Aku menyipitkan pandanganku dan menghalangi sorot lampu itu dengan melebarkan telapak kananku. Klakson berbunyi, sorot cahaya lampu padam.

“Ayo naik!”

Tanpa aba-aba, dia melempar helm padaku. Tidak bisakah dia sedikit lembut pada perempuan? Menyebalkan.

Aku berhasil meraih helmnya. Pandanganku bertanya-tanya apa yang dilakukan Ditya di sekitar rumah sakit.

Lihat selengkapnya