Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #9

#9 Kotak Kecil Merah Muda

Aku menepati janjiku pada Ditya, mengantarnya ke tempat yang kupijaki sekarang. Tempat yang asing bagiku. Rerumputan liar tumbuh lebat di halaman. Bangunan yang menjulang tinggi dan tidak terlihat kokoh. Laba-laba yang berlomba membuat sarangnya. Beragam properti bersimpah ruah memenuhi halaman. Tidak terurus.

Bulu kudukku berdiri. Bangunan di depanku ini mirip dengan gedung tidak berpenghuni dalam cerita horor. Jika Ditya memintaku untuk mengantarnya masuk, aku tidak akan menurutinya. Bangunan itu terlihat hampir roboh. Dindingnya lapuk dan banyak besi mencuat.

“Pabriknya gulung tikar lima tahun yang lalu.” Ditya memulai pembicaraan sambil sesekali memandangi bangunan di depannya.

Aku tidak menjawab. Aku sibuk memukul nyamuk yang berkerumun di sekitarku.

Ditya menoleh padaku yang sibuk dengan kerumunan nyamuk.

“Aku udah mengantarmu. Bisakah kita pulang sekarang?” pintaku. Aku mulai menggaruk kulit tangan dan kakiku hingga memerah.

Ditya menunjuk bangunan kecil mirip pos satpam di sebelah gerbang besi berkarat. Lalu, berjalan ke arah belakang pos satpam. Aku mengikutinya, masih menggaruk tangan dan kakiku yang terasa semakin gatal.

“Tempatmu berpijak adalah tempat ditemukannya korban.”

Mataku membulat. Aku berhenti menggaruk dan berpindah ke samping saat Ditya menunjuk kakiku. Menatap horor area yang baru saja kupijaki.

“Ko-korban?” ulangku tergagap.

Ditya mengangguk. “Dulu, ayahku staf keamanan yang bertugas di pabrik ini dan di sini..” Ditya menggantungkan kalimatnya. “Di sini ditemukan korban pembunuhan.”

Angin sore tiba-tiba menyapu permukaan kulitku. Aku merasa tidak nyaman. Namun, Ditya terlihat santai saja.

“Ditya, bisa kita pulang sekarang?” cicitku menarik ujung lengan kemejanya.

“Harusnya malam itu, sepuluh tahun yang lalu, Ayah pulang merayakan kemenangan pertamaku lomba bulu tangkis tunggal putra. Tapi, Ayah nggak datang. Ayah nggak pulang sampai esoknya, esoknya dan esoknya.” Sorot kesedihan terpancar dari kedua matanya.

“Ayah ditahan karena-”

Aku menarik ujung lengan kemeja Ditya sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku terus menariknya hingga keluar dari tempat yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak ingin mendengarnya. Bukan karena aku tidak peduli. Namun, sekarang aku mengerti. Tempat yang ditunjuk Ditya adalah tempat kejadian perkara seperti yang dikatakannya kemarin. Aku terus menarik lengan kemeja Ditya hingga sampai di tempat motornya terparkir. Setelah sampai, Ditya menepis tanganku. Dia menunduk dan menatapku lekat. Aku mengalihkan pandanganku pada helm yang siap kupakai. Menghindari matanya.

“Ayahku bukan pembunuh, Aster,” ucanya lirih, sarat akan luka yang masih menganga. “Dia dijebak,” lanjutnya.

Aku menoleh. Ditya tertunduk lesu.

“Sampai sekarang, Ayah masih di balik jerusji besi dan ibuku tertahan di rumah sakit jiwa karena nggak sanggup dengan apa yang terjadi pada Ayah. Tetangga mengucilkan kami. Orang-orang yang semula baik bersikap sebaliknya. Semuanya menjauh, mencibir dan memaki! Saat itu aku hanya seorang remaja yang terluntang-lantung sendiri tanpa tujuan. Label sebagai anak seorang pembunuh benar-benar memekakkan telingaku. Aku muak, Aster!”

Aku membatu. Sedalam itukah lukanya?

“Aku benci itu,” lirih Ditya.

Saat ini, ingin sekali aku menyeka air mata Ditya yang hampir keluar. Ingin rasanya, aku merengkuhnya. Ingin rasanya, aku menenangkannya. Namun, tidak kulakukan. Ditya tidak menangis, air matanya tidak jadi jatuh dan hanya menggenang.

Aku pikir selama ini hanya hidupkulah yang menderita. Aku pikir selama ini hanya keluargakulah yang mengalami masa-masa sulit. Aku pikir, aku satu-satunya orang yang tidak bahagia karena keluargaku hancur. Aku keliru. Sangat. Aku sibuk menutup mata untuk orang-orang di sekelilingku.

Ditya mengambil helm dan mulai memakainya. “Jangan merasa kasihan padaku,” ucap Ditya pelan. Dia tersenyum. Namun, kutahu senyuman dipaksakan. Sorot matanya masih meredup seperti dulu. “Aku menceritakan itu karena ingin memberikan penawaran untukmu,” lanjut Ditya.

“Penawaran?” ulangku sambil memakai helm.

“Orang yang menjebak ayahku hampir setiap minggu datang ke sana,” tunjuk Ditya pada bangunan bekas pabrik itu. “Seperti ada jejaknya yang tertinggal.”

“Lalu, apa rencanamu?” tanyaku.

“Aku ingin kamu membantuku.”

Sejenak, aku berpikir. “Aku tahu kamu memiliki luka yang teramat sakit. Tapi, jika kamu ingin aku mencari jejaknya yang tertinggal di bangunan tua itu. Aku nggak mau meski kamu menawarkan sesuatu yang bagus untukku. Lagi pula, rentang waktunya sepuluh tahun, apa mungkin masih ada jejak yang tertinggal? Barang bukti apa pun itu bisa aja udah mengurai dengan tanah.”

“Aku tahu. Tapi, kenapa dia masih ke sana setiap minggu selain ada yang tertinggal? Aku pikir, bisa aja sesuatu yang dia cari terbungkus plastik dan tersembunyi di suatu tempat. Nggak perlu kuberi tahu berapa lama plastik terurai, ‘kan?”

Sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau mungkin lebih.

“Aku tetap nggak mau!” tegasku.

Ditya mendengkus keras. “Kamu nggak mau bahkan sebelum kuberi tahu penawaran?”

Memangnya, tawaran apa yang akan diberikan Ditya?

“Aku nggak akan minta kamu untuk mencari jejak yang tertinggal itu, Aster,” lanjut Ditya.

“Lalu?”

“Cukup beritahu aku siapa orang yang selalu datang tiap minggu ke tempat itu. Sebagai gantinya, kuberi tahu cara instan agar kamu bisa kembali menjadi dirimu yang asli. Bagaimana?”

Lihat selengkapnya