Seumur hidup, aku tidak pernah menerima surat cinta. Alih-alih surat cinta, merasakan jatuh cinta saja tidak pernah.
Jatuh cinta itu apa? Sesuatu yang konyol menurutku. Dua manusia saling bergantung, saling mengikat, saling mengagumi satu sama lain, buta terhadap kekurangan yang ada. Bagaimana jika tali yang digantungkan terlepas? Jatuh sudah sampai berdarah. Bagaimana jika tali yang mengikat terlalu kencang? Putus sudah sampai hati keduanya patah. Itu hanya segelintir definisi jatuh cinta menurutku, orang yang mengungkung dirinya sendiri dalam lubang kebencian penuh dendam. Itu juga segelintir definisi yang konyol dan tidak berdasar, karena aku tidak pernah jatuh dalam kubangan yang dinamakan cinta.
Satu-satunya surat yang selalu kuterima adalah surat yang berisi untaian kalimat tanpa tanda titik di ujung kalimatnya. Negasi dari cinta, benci. Surat kebencian. Anehnya, aku menerimanya dengan lapang dada, membacanya kata per kata, mengikuti permainan Si Pengirim Surat tanpa mau mengelak.
Pernah saat aku dalam penerbangan menuju Tokyo untuk berlibur, seorang pramugari memberikanku kotak seukuran tempat pensil. Di dalamnya terdapat surat yang sama. Surat tanpa tanda titik dan bonus fotoku saat di bandara sebelum pesawat lepas landas. Katanya, surat itu dari seorang penumpang di bangku belakang. Aku tidak tahu siapa dia dan apa yang membawanya kemari. Sepertinya, Si Pengirim Surat tidak ingin melihat rona kebahagiaan di wajahku sekejap saja. Dia sengaja tidak membiarkanku untuk tenang meski hanya satu menit. Orang waras mana yang sengaja naik penerbangan yang sama hanya untuk mengirim surat?
Kali ini apa? Belum juga aku menemukan wujud Si Pengirim Surat, dia memberikanku tebakan aneh. H-7.
“Siapa yang mengirim kotak ini?” tanyaku dingin pada Liviana.
“Seorang gadis kecil di depan ruangan menitipkanku ini, dia bilang untukmu. Ada apa?” tanya Liviana dengan pandangan bertanya.
Aku mengalihkan pandanganku pada Aghista yang telah tertidur pulas. Tidak ingin melihat Liviana. Tidak ingin menduga-duga hal lain yang akan menimbulkan dugaan lainnya.
“Bukan kamu yang memberikanku ini, Ana?” tanyaku datar. Sengaja menekankan kata terakhir. Ana, panggilan Liviana saat sekolah dulu.
Liviana tertegun. Dia menunduk sebentar. “Seorang gadis kecil berbando bunga Aster memberikanku kotak itu. Dia bilang untukmu,” ulang Liviana dengan penjelasan yang lebih rinci.
Aku berbalik. Memutar kenop pintu dan berderap keluar ruangan dengan langkah cepat. Mengabaikan pandangan heran Liviana atas sikapku dan panggilan yang kulontarkan untuknya.
Aku harus mencari gadis kecil yang disebutkan Liviana. Kemungkinan, gadis itu belum berjalan jauh. Mataku bergerak mencari-cari gadis kecil berbando bunga Aster di setiap sudut koridor rumah sakit. Langkahku bergerak cepat, tidak ingin kehilangan jejaknya.
Baiklah. Kuikuti permainan Si Pengirim Surat dengan suka rela hingga dia bosan, lalu berhenti dengan sendirinya. Sampai saat itu tiba, aku akan bernapas lega.
Kulihat gadis kecil berbando bunga Aster sedang asyik memakan es krim yang tinggal separuh. Mulutnya belepotan. Dia asyik menjilat es krim yang hampir meleleh. Di sampingnya, duduk seorang wanita paruh baya berseragam pasien. Mungkin, dia ibunya. Aku berjalan menghampirinya. Setelah meminta izin pada ibunya, aku bertanya pada anak kecil itu.
“Apa kamu yang disuruh memberikan kotak kecil ini padaku?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Kakak ini Kak Ayumi, ya?”
“Ya,” jawabku seadanya.