Surat Tanpa Tanda Titik

Ati Raah
Chapter #11

#11 Fakta di Balik Sebuah Pengakuan

“Apa yang kamu pikirkan, Aster?” lanjutnya dengan pertanyaan yang membuatku berpikir keras.

Ditya terkekeh pelan. “Jangan serius begitu.” Ditya melepas topinya dan menyodorkannya padaku. “Kamu lihat di sini,” tunjuk Ditya pada topinya. “Ada huruf r kecil di sebelah A. Agas Radiansyah.”

Aku mendengkus keras dan memukul topi yang sedang Ditya pegang. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak padanya. “Menyebalkan. Kamu bilang melihatnya. Lalu, di mana laki-laki dengan topi hitam dan jaket hijau itu?”

Ditya mengenakan kembali topinya. “Dia singgah ke sini. Memesan Espresso di meja ini.” Ditya mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. “Lalu, pergi.”

*

Entah kenapa naluriku membawaku kemari. Bekas pabrik yang gulung tikar lima tahun lalu. Tempat kejadian perkara yang ditunjukkan Ditya. Angin malam yang membawa hawa dingin mampu membuatku merinding. Kuusap tengkukku dan menjauh dari pabrik. Aku menyebrang jalan, duduk di salah satu warung yang telah tutup. Aku mulai mengamati pabrik itu dari jauh, lebh tepatnya mengamati jika ada gerak-gerik mencurigakan seperti dikatakan Ditya, tentang orang itu. Penarawan itu, aku mempertimbangkannya.

Tidak ada seorang pun yang menuju pabrik itu. Jalan ini teramat sepi, hanya satu atau dua orang pengendara yang lewat. Aku merapatkan jaketku. Meniup kedua telapak tanganku, memberi kehangatan. Jujur, aku tidak pernah seberani ini. Langkah kakiku membawaku kemari di malam yang dingin.

Langkah kaki yang berderap cepat tertangkap indera pendengaranku. Kemungkinan tiga...bukan, tapi empat orang. Aku menoleh ke arah kiri. Tiga orang pria berbadan besar sedang mengejar seorang pemuda yang familiar untukku. Bukan melangkah, tapi berlari dengan sangat kencang. Tiga orang berbadan besar dan tegap dengan setelan jas rapih yang mereka kenakan mengejar pemuda itu. Pemuda dengan penampilan yang jauh dari kata rapih. Rambutnya yang lebat berantakan, menjuntai hingga ke dahi. Mereka melewatiku. Pemuda itu sempat melihatku. Mataku membesar.

“Ditya,” lirihku nyaris tidak terdengar.

Jarak mereka sudah sepuluh meter dariku. Tapi, aku masih dengan jelas melihat mereka yang masih terus berlari. Tanpa pikir panjang, aku ikut mengejar dari jauh. Aku harap aku tidak tertinggal, firasatku buruk sekarang.

Ditya dan tiga orang yang mengejarnya memasuki area persawahan. Berlanjut ke pemukiman padat penduduk. Lari mereka sangat cepat hingga aku tertinggal jauh. Mereka terlihat seperti  titik-titik kecil. Aku tetap mengejar mereka meski napasku terengah-engah. Sampailah aku di sebuah gang buntu dengan beragam properti yang tidak terpakai. Terbengkalai. Aku bersembunyi di balik dinding pintu gang, mengatur napasku dan menahan batuk keluar dari mulutku. Ditya terperangkap bersama tiga orang yang mengejarnya.

Tiga orang yang mengejar Ditya berkacak pinggang. Tertawa puas.

“Lihat ini! Kemana lagi kamu akan berlari anak kecil?!” teriak salah seorang dari mereka diselingi tawa ketiganya. Seorang yang lain sibuk menelepon.

Aku mengintip dari balik dinding. Ditya sama sekali tidak terlihat gentar. Dia diam seperti patung. Tiga orang yang mengejar Ditya sama sekali tidak membawa senjata, namun jika dilihat dari badan mereka, sepertinya mampu melumpuhkan Ditya hanya dengan sekali pukulan. Aku menggeleng. Menyahkan segela kemungkinan buruk yang bersemayam dalam pikiranku.

Aku merogoh tas kecil yang kubawa, mencari ponsel. Menghubungi seseorang sepertinya akan membantu. Aku merogohnya lagi dan lagi, tapi benda pipih itu tidak kutemukan. Sepertinya tertinggal. Aku merutuki kecerobohanku.

Seseorang turun dari mobil. Aku semakin beringsut mundur, bersembunyi di balik bak sampah besar di samping mulut gang. Beruntung, orang itu tidak melihatku. Orang itu berjalan memasuki gang buntu, tempat Ditya terperangkap. Dia sudah melewatiku sebelum aku melihat wajahnya. Dari balik punggungnya, setelan pakaian dan cara berjalannya, aku pikir dialah orang yang ditelepon salah seorang dari mereka. Kemungkinan, dia bosnya.

Aku menajamkan pendengaranku ketika mereka berbicara.

“Apa ini yang anda cari, Pak Hendra Adi Aksara?”

Mendengar nama itu yang disebut, aku bangkit dari posisi jongkokku dan mulai mengintip dari balik dinding. Aku menegang. Orang yang Ditya ajak bicara, bos mereka, adalah Ayah. Mulutku sedikit terbuka, mataku membulat seketika. Hendra Adi Aksara adalah nama Ayah. Aku dapat melihat wajah Ayah dari sisi samping memandang Ditya remeh.

Ditya menggantung-gantungkan sebuah benda kecil mirip diska lepas. “Oh, ada alamat surel juga tertulis di sini. Sepertinya, Si Pemilik diska lepas ini sengaja meninggalkannya. Kenapa anda terus mencari benda ini di pabrik itu?” Ditya menyeringai lebar.

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Jadi, Ayah...

Lihat selengkapnya