Rasanya, baru kemarin aku terjebak di sini dan dengan wajah ini.
Rasanya, baru kemarin aku bertemu dengannya saat menunggu hujan reda di sekolah.
Raditya Mahendra. Laki-laki itu memang cenderung kasar dan selalu bersikap sinis padaku. Namun, dia adalah satu-satunya yang sangat peduli. Kini, dia benar-benar pergi? Bahkan, sebelum dia kembali ke dalam dirinya yang asli.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Memandang langit-langit kamar. Momen bersama Ditya mendadak muncul seolah langit amar adalah layar televisi. Bayang-bayang kejadian itu semakin betah bersarang di kepalaku. Seharian aku menangis, di gang buntu itu bersama Ditya yang telah kaku. Padahal, sudah lewat beberapa hari.
Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Tidak ingin menjatuhkan air mata lagi. Ada apa denganku? Kejadian itu seolah tidak ingin pergi!
Aku mulai memejamkan mata. Sepertinya, tidur siang cukup membantu menenangkan pikiranku yang kacau.
“Aster..”
Baru saja aku terpejam, panggilan itu membuatku kembalimembuka mata. Aku bangkit dari posisiku. Tidak ada siapa pun. Aku mungkin hanya berhalusinasi. Entah kenapa, kehadiran Ditya seolah masih membekas.
Aku bergegas mengambil tas kecil yang digantung. Aku butuh sekedar ketenangan. Tujuanku adalah pergi ke minimarket, memandang takjub isi lemari pendingin yang penuh. Lalu, aku akan membeli beberapa minuman kemasan dan camilan. Tidak apa jika badanku akan melebar nantinya karena terlalu banyak makan.
Sampai di pintu, seseorang mengetuk. Aku membukanya. Seorang kurir mengantar paket. Mendengar kata ‘paket’ sempat membuatku menegang karena surat tanpa tanda titik itu. Tapi, melihat kurir yang berseragam resmi, aku mengenyahkan segala bentuk pemikiran buruk. Bisa saja, Ibu memesan sesuatu secara daring.
Aku menandatangani tanda terima dan menerima paket itu. Namun, paket itu tertulis: Untuk Ayumi. Sejenak aku ragu akan membukanya atau tidak. Akhirnya, tetap kubuka paket itu di tempat yang sama, masih di depan pintu. Lagi pula, aku sudah tidak takut lagi dengan surat tanpa tanda titik itu. Ya, rasa takutku berubah menjadi kekesalan mendalam pada Si Pengirim Surat. Menjengkelkan.
Kotak bersisi 15 cm itu kubuka. Isinya terdapat kotak yang lebih kecil dan sepucuk surat di bawahnya. Kubuka kotak kecil itu lebih dulu. Isinya membuatku tertegun. Gantungan kunci berbentuk bunga Aster. Sangat cantik dengan tiap kelopaknya yang mengkilap.
Sepucuk surat di bawahnya kubaca.
Datanglah ke studio foto 12 di jalan Vigna Radiata
Di sana, kamu akan menemukan jawabannya
Aku bolak-balik kotak yang kuterima, memang terdapat nama pengirim yang tercantum dalam paket itu. Namun, seperti sengaja dicoret dengan tinta hitam hingga tidak terbaca.
Jalan Vigna Radiata tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pernah melewatinya saat hendak pergi ke sekolah. Itu artinya, jarak studio bisa ditempuh tanpa menaiki bus. Aku masuk kembali ke dalam rumah. Kurasa, Ibu memiliki sepeda di halaman belakang. Aku bergegas ke halaman belakang dan menemukannya. Sepeda yang selalu Ibu gunakan ketika berolah raga di pagi hari.
Ini kesempatan yang bagus. Si Pengirim Surat rupanya sudah mulai bosan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini jika Si Pengirim Surat akan memberiku jawaban, tentang apa tujuannya mengirimiku surat tanpa tanda titik itu.
Aku menggoes sepedaku melewati pertokoan yang saling berdesakan. Juga, melewati minimarket, tujuan awalku. Hingga sampailah aku di depan gedung dua lantai bertuliskan Studio foto 12. Bagian depan gedung dihiasi lampu kerlap-kerlip. Mungkin, lampu-lampu itu akan terlihat cantik jika menyala di malam hari.
Aku melangkah masuk. Kudapati seorang laki-laki berusia 20 tahunan. Topi hitamnya dipakai terbalik, menunjukkan sedikit rambut cokelatnya yang menutipi dahi. Dia memakai kemeja kotak-kotak biru yang dibiarkan terbuka. Menunjukkan kaosnya yang berwarna putih. Dia meletakkan kamera yang sedang dipegangnya di sebelah komputer jinjing yang masih terbuka. Lalu, dia menyapaku.
“Selamat datang di studio foto 12. Ada yang bisa saya bantu? Foto ijazah, foto KTP, foto reuni?” tanyanya ramah.
“Saya ingin tanya sesuatu-”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, pandangan lawan bicaraku beralih pada pintu yang baru saja dibuka. Seorang yang lain masuk. Perempuan dengan dandanan cukup tebal, namun pakaiannya sangat rapih. Laki-laki yang menyambutku beralih menyapanya. Membiarkan ucapanku tergantung begitu saja.
“Tunggu, sebentar ya,” ucapnya padaku. Aku terpaksa mengangguk dan tersenyum tipis. Aku duduk kursi tunggu, menunggu pembicaraan mereka selesai. Kuharap tidak terlalu lama.
“Hai! Kamu pasti Lula. Yang gantiin Agas, ‘kan?” tanyanya sembari menunjukkan gigi-giginya yang berderet rapih.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Aku menginterupsi percakapan mereka yang baru saja dimulai. Aku tidak salah dengar jika dia menyebut Agas, bukan?
Aku bangkit dari dudukku. “Kamu mengenal Agas?” tanyaku.
Laki-laki itu mengangguk. “Tentu, dia rekan kerjaku.” Sejenak, laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku. Meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki yang membuatku risih. Wajah ramahnya berubah seketika. “Kamu Ayumi?” tanyanya. Nyaris tanpa nada.