Gelap. Yang aku lihat gelap hingga secerca cahaya membuat dahiku berkerut, memaksaku untuk bangun dari ketenangan semu. Jemariku bergerak mencari pegangan. Kepalaku masih berdenyut nyeri, namun semakin melemah. Perlahan, aku membuka mata, kulihat langit-langit sebuah ruangan yang berwarna putih cerah dengan sebuah lampu yang menyilaukan mata. Pandanganku menyapu ke seluruh ruangan. Ruangan bercat biru muda dengan bau khas obat-obatan. Aku memaksa diriku untuk duduk, sambil memegangi kepalaku yang masih berdenyut nyeri. Aku merabanya perlahan, terdapat kain kasa yang menutup luka. Luka?
Aku berpikir sejenek hingga suara igauan terdengar dari samping kiriku. Ruby memandangku dengan matanya yang tidak sepenuhnya terbuka. “Udah bangun, apa masih sakit?” tanyanya, sepertinya dia sempat tertidur.
“Bu Ruby,” panggilku.
Ruby sedikit menguap dan menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan punggung tangan. Mtanya kini telah terbuka lebar. “Apa yang kamu katakan, Aster? Kamu mengigau?”
Aku membulatkan mataku. “Aster?” Aku menunjuk diriku sendiri. “Jadi, aku Aster?”
Ruby memutar pandangannya malas. “Lalu, siapa lagi? Hantu penunggu rumah sakit?”
Dahiku masih berkerut dalam. Sebuah tas kecil yang kukenal tergeletak di atas nakas. Aku merogoh isinya, mencari sebuah benda yang dapat memantulkan bayangan diri. Cermin. Kutatap cermin itu, lalu memegangi wajahku. Pipi tirusku telah kembali. Potongan rambut tanpa poni. Aku telah kembali. Sebuah senyuman terbit di wajahku.
“Apa perlu kupanggilkan dokter? Sepertinya kamu sedikit nggak waras setelah tiga jam pingsan karena kepentok sisi jalan,” omel Ruby padaku.
“Tiga jam?” ulangku yang diangguki Ruby.
“Bukan tiga puluh hari?” tanyaku masih penasaran. Seingatku, terakhir kali aku menjadi Ayumi adalah di hari tiga puluh.
“Kamu hanya pingsan Aster, bukan koma,” sungutnya. “Lihat sekarang jam berapa?” Ruby menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 12, lalu kulirik jendela yang sebagian tirainya tidak sepenuhnya tertutup, masih gelap.
Aku tersenyum tipis. Aku tidak akan bercerita padanya tentang petualanganu sebagai Ayumi. Kurasa, dia akan menganggapku tidak waras jika aku menceritakannya. Dalam hati aku berjanji akan memperbaiki hubungan pertemananku dengan Ruby.
Ruby mengambil segelas air putih. “Minumlah dulu, tenggorokanmu pasti kering.”
Aku menerima segelas air putih yang diberikannya dan meminumnya hingga tandas. Lalu, menaruh gelas kosong di atas nakas, masih dengan setipis senyuman. Aku memaksakannya. Entahlah, aku hanya merasa harus meyakinkan diriku jika aku baik-baik saja.
“Jangan tersenyum begitu, Aster. Senyumanmu aneh di tengah malam begini.” Ruby mengusap tengkuknya. Aku terkekeh pelan.
“Oh ya, orang yang telah melukaimu baru aja pulang. Dia menyampaikan permintaan maafnya padaku dan berjanji akan datang besok pagi. Tapi, dia udah cukup bertanggung jawab dengan memanggil ambulans dan mengurus biaya administrasi perawatanmu. Dia juga menghubungiku, kalau nggak, aku mungkin nggak akan tahu kamu dirawat. Aku merasa nggak enak, dia sepertinya orang baik, jadi aku membiarkannya pulang,” tutur Ruby.
“Ana?” tanyaku spontan.
“Kamu mengenalnya?” Ruby balik bertanya.
Pandanganku menunduk. “Sepertinya begitu.”
“Teman SMA-mu?” tanya Ruby lagi, ingin tahu.
Aku mendongkak, lalu mengangguk pelan. “Ya, dia temanku.” Jawabanku yang sedikit ragu membuat Ruby menyipitkan mata, tapi tidak berkata apa pun lagi tentang kejadian itu.
Ruby meninggalkanku sendiri di ruangan, dia mengatakan jika dia harus ke toilet karena masalah perutnya. Aku tidak keberatan. Aku bangkit dari posisiku dan melangkah pelan ke arah jendela. Menyibak tirai putih hingga pemandangan kota terlihat. Sepertinya, aku tidak berada di lantai dasar. Gedung-gedung terlihat mengecil. Lampu warna-warni masih menghidupkan kota. Sayangnya, bintang yang seharusnya bertabur dilangit seolah sembunyi. Enggan menampakkan diri. Hanya ada bulan di sana.
Pandanganku beralih pada sebuket bunga Aster putih yang tergeletak di atas nakas. Cantik dan indah. Aku menyentuh tiap kelopaknya dan menghirup harumnya, lalu meletakkannya kembali ke tempat semula. Aku menyukainya, seperti namaku.
*
Aku belum diperbolehkan pulang. Dokter mengatakan jika keadaanku belum sepenuhnya pulih, juga luka dikepala yang masih menunggu hasil yang akurat agar tidak terjadi hal yang fatal. Yang kulakukan hanya mengelilingi ruangan dan menatap hiruk pikuk kota dari jendela. Menyambut mentari dan melepas senja pergi.
Seseorang mengetuk pintu, lalu membukanya. Kepalanya menyebul di antara daun pintu.
“Hei, ayo masuk aja, nggak apa-apa,” sahut Ruby yang saat itu masih di dalam ruang inapku. Dia melangkah ke arah pintu dan menuntun orang itu untuk masuk. “Aster nggak akan menggigit,” lanjut Ruby. Aku melotot padanya. Ruby hanya terkekeh pelan.
Ana. Gaya berpakaiannya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Kaos polos yang dilapisi jaket denim, celana yang tidak terlalu ketat, topi yang membungkus kepalanya dan tidak lupa masker yang ia gunakan. Semuanya senada, abu-abu dan biru.
Liviana masih menunduk. Tangannya membuka masker yang ia gunakan hingga aku bisa melihat keseluruhan wajahnya.
“Aku minta maaf,” tuturnya.
Aku mendekat. “Nggak perlu minta maaf, aku-”
“Aku minta maaf,” ulangnya bergerak mundur.
“Ana?” panggilku. Ana masih berdiri di tempat yang sama tanpa mau melihatku.
“Aku minta maaf, Aster,” ulangnya untuk yang kesekian kali.
Melihat situasi yang mulai tidak nyaman, Ruby pamit untuk keluar ruangan.
Aku memiringkan kepalaku, ingin melihat wajahnya yang semakin menunduk. “Hei, Ana lihat aku,” pintaku yang tidak diturutinya.
“Aku benar-benar nggak sengaja. Aku sungguh minta maaf.” Permintaan maafnya sungguh membuatku jengah.
“Kucingku hilang, kupikir dia tersesat masuk ke halaman rumahmu. Tolong jangan sak-“