Aku menatap takjub kertas tebal putih dengan tepi berwarna emas yang diberikan Ruby.
“Kamu akan menikah?”
Ruby mengangguk, masih dengan senyuman lebarnya. “Kamu harus datang. Karena setelah itu, aku akan pindah ke Bali.”
Melihatku mendadak murung, Ruby menyikut lenganku pelan. “Jangan sedih begitu, aku akan sering berkunjung ke sini. Kuharap kamu juga akan sering berkunjung ke sana juga.”
Aku tersenyum. “Tentu,” ucapku turut merasa senang. “Kita masih bisa berteman, ‘kan?”
“Ya jelas. Pertemanan itu nggak tergantung jarak. Maka dari itu, cepat menyusul.” Ruby menyenggol sikuku lagi. Aku hanya terkekeh pelan.
Aku melanjutkan kegiatanku, memakan snack kentang sambil menonton acara televisi. Kegiatanku setiap hari libur.
“Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Tapi, janji kamu nggak akan marah, ya?” kata Ruby lagi.
Dahiku berkerut. Aku menggedikkan bahu. “Tergantung.”
“Aku bertemu ibumu,” tutur Ruby membuatku berhenti mengunyah. “Entah bagaimana ibumu mengenaliku sebagai temanmu. Tapi, ibumu menitipkan ini.” Ruby menyodorkan secarik kertas yang tertulis sebuah alamat.
Aku mencoba untuk menelan snack kentang yang masih bersarang di mulutku. Lalu, meneguk segelas air putih.
“Keputusan ada di tanganmu. Tapi, sebagai teman, aku rasa kamu perlu bertemu dengannya. Kurasa, kalian harus melepas rindu. Dia ibumu..Ruby.”
Aku menerima secarik kertas berisi alamat ibu. Menarik napas melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut. Aku mengerti.