Hari itu hujan turun dengan pelan, seperti rintik-rintik air mata yang jatuh tanpa suara. Langit abu-abu, jalanan basah, dan udara penuh aroma tanah yang terusik. Di antara semua yang sunyi itu, Delta berdiri diam di depan jendela kamarnya yang berembun. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya jauh terperangkap di masa lalu.
"Empat tahun, Bu," gumamnya pelan. “Sudah empat tahun Ibu pergi, tapi rasanya baru kemarin aku melihat Ibu duduk di meja makan, menungguku pulang dari sekolah.”
Delta, gadis yang kini berusia tujuh belas tahun, menyimpan ribuan luka yang tak terlihat. Ia tidak menangis, tidak juga tertawa. Ia hanya diam—menyerap semuanya seperti tanah menyerap air hujan. Sunyi menjadi temannya. Dan malam, menjadi waktu yang paling ia benci sekaligus rindukan.
Semenjak ibunya meninggal karena kanker paru-paru empat tahun lalu, rumah itu tak lagi punya warna. Ayahnya, Darsa, berubah menjadi sosok asing. Dingin, pendiam, dan mudah marah. Rumah yang dulu penuh dengan tawa kini hanya diisi dengan suara langkah kaki dan detak jam dinding.
Delta ingat, dulu ayahnya adalah lelaki yang hangat. Suka bercerita, suka bercanda. Ia suka menyisir rambut Delta saat gadis itu akan tidur, lalu mencium keningnya dengan lembut. Tapi kematian membawa ayahnya ke tempat lain—tempat yang tidak pernah bisa dijangkau Delta, seberapa keras pun ia mencoba.
Delta berjalan ke meja belajarnya dan membuka sebuah buku catatan tua. Di dalamnya ada ratusan surat. Surat-surat yang tak pernah ia kirim, tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Semua surat itu ditujukan untuk ibunya. Ia menulisnya sejak hari pemakaman. Surat pertama ia tulis dengan tangan gemetar, penuh tangis dan noda tinta air mata. Kini ia menulis dengan lebih tenang, meski hatinya tetap sama remuknya.
Delta duduk. Tangannya mengambil pena. Kertas baru dibuka.
---
Untuk Ibu, di tempat yang jauh tapi selalu dekat ...
Hari ini aku melihat ayah menatap foto Ibu di ruang tengah. Lama sekali. Tapi saat aku datang dan duduk di sebelahnya, ia berdiri dan pergi begitu saja. Seolah kehadiranku adalah gangguan. Seolah aku bukan anaknya. Seolah ... aku adalah bayang-bayang dari kenangan yang ingin ia lupakan.
Kenapa ayah tak pernah menatapku lagi, Bu?
Kenapa ia tak pernah menyebut namaku dengan lembut seperti dulu?
Kenapa, setelah Ibu pergi, ia jadi orang lain?
Aku rindu. Tapi aku tak tahu harus merindukan siapa. Ayah yang dulu, atau ayah yang kini tak lagi melihatku sebagai anak.
Aku ingin bicara, Bu. Tapi tak ada ruang untuk itu. Ayah tak pernah bertanya bagaimana perasaanku. Ia hanya sibuk bekerja, sibuk menyendiri, sibuk tenggelam dalam duka yang tak pernah ia bagi.
Aku tahu, Bu. Aku tahu ayah juga kehilangan Ibu. Tapi kenapa kehilangan itu harus membuatku kehilangan dua orang sekaligus?
Dulu aku selalu berdoa agar Ibu sembuh. Tapi Tuhan menjawab doaku dengan kepergian. Dan sekarang, aku bahkan tak berani berdoa lagi. Karena setiap kali aku berharap, yang datang justru kehilangan.
Tolong ... temani aku malam ini, Bu. Aku takut sendirian. Aku takut gelap. Aku takut menjadi dewasa tanpa cinta yang menguatkan.